Ajak Semua Elemen Masyarakat, Atasi Rawan Pangan dan Stunting Di Indonesia

SIARAN PERS, JAKARTA — Indonesia sebagai negara agraris dan beriklim tropis, sangat membantu dalam potensi agraria, termasuk komoditi pangan. Namun dari catatan Kementerian Pertanian (Kementan) terdapat 88 kabupaten atau kota di Indonesia rentan rawan pangan. Daerah rentan rawan pangan ditentukan melalui tiga aspek, meliputi ketersediaan pangan, akses pangan dan pemanfaatan pangan. Tiga aspek tersebut dapat berdampak pada kehidupan wilayah rawan pangan, ketersediaan pangan yang kurang. Sehingga menyebabkan kurangnya asupan gizi.

Melalui kerja sama Kementerian Kesehatan RI, Dompet Dhuafa menggelar diskusi bertajuk “Kerawanan Pangan dan Tantangan Stunting Anak Negeri” di RBoJ Coffee, Jakarta Selatan, Jumat (28/2/2020).

"Pencegahan kerawanan pangan dan stunting yang terjadi pada anak negeri, telah menggerakkan Dompet Dhuafa dengan berbagai program pertanian dan kesehatan. Mengembangkan program pertanian sehat terpadu hingga mengimplementasikan program JKIA (Jaringan Kesehatan Ibu dan Anak) dan SNGI (Saving Next Generation Institute) yang berbasis pemberdayaan kader dan komunitas masyarakat untuk melakukan upaya pencegahan kematian ibu dan anak. Selain itu juga program STBM (Sanitasi Total Berbasis Masyarakat) yang mendorong perilaku bersih dan sehat di lingkungan sekitar dengan sumberdaya yang ada. Program tersebut, dilakukan bersama dengan komponen masyarakat, pemerintah daerah, dinas terkait dan mitra lain yang bekerja sama secara terintegrasi di lapangan,” terang Dian Mulyadi, selaku General Manager Corporate Secretary Dompet Dhuafa dalam sambutannya.

Diskusi tersebut turut menghadirkan Fajri Azhari (Peneliti IDEAS), Dr. Hera Nurlita, S.SiT, M. Kes (Kasi Mutu Gizi Kementerian Kesehatan RI), Sri Wahyuni Sukotjo (UNICEF) dan drg. Martina Tirta Sari (Direktur LKC NTT Dompet Dhuafa).

Permasalahan pangan, gizi buruk dan stunting menjadi pekerjaan bersama dengan pemerintah daerah. Pada 2018, terdapat 92 kabupaten-kota dengan prevalensi stunting balita lebih dari 40 persen, dengan yang tertinggi adalah Kab. Nias (61,3 persen), Kab. Dogiyai (57,5 persen), Kab. Timor Tengah Utara (56,8 persen), Kab. Timor Tengah Selatan (56,0 persen), Kab. Waropen (52,6 persen) dan Kab. Pangkajene, serta Kepulauan (50,5 persen). Pada saat yang sama, 206 kabupaten-kota memiliki prevalensi stunting antara 30-40 persen. Dengan kata lain, 58 persen kabupaten-kota di seluruh Indonesia menghadapi masalah prevalensi stunting yang serius, lebih dari 30 persen. Hanya 34 kabupaten-kota yang pada 2018 tercatat memiliki prevalensi stunting di bawah 20 persen.

"WHO mencatat standar angka stunting di bawah 20%. Secara nasional Indonesia belum mencapai itu," jelas Dr. Hera Nurlita, S.SiT,M.Kes. 

Sri Wahyuni Sukotjo menambahkan, salah satu upaya untuk mengentaskan stunting dan rawan pangan ialah dengan memberikan Edukasi serta peningkatan kapasitas bagi masyarakat. Baik mereka yang berprofesi sebagai tenaga medis maupun yang tidak. Tentu peningkatan kapasitas yang dimaksud bukan hanya bidang kesehatan saja. Namun bagaimana menciptakan akses pangan yang baik dan sarana sanitasi memadai. 

"Kita juga harus mengedukasi. Misal, para petani untuk menghasilkan pangan yang sehat," ungkap Sri. 

Diharapkan dengan hadirnya diskusi publik ini, dapat menyinergikan berbagai pihak terkait, untuk mengentaskan rawan pangan dan stunting anak negeri. 

"Ini tanggung jawab bersama. Bukan pemerintah saja," tutup Dian Mulyadi. (Dompet Dhuafa/Fajar)