Bincang Seputar Kemanusiaan, Isu Pengungsi ke Kancah Nasional

SIARAN PERS, JAKARTA — The Jakarta Post menggelar webinar seputar isu pengungsi yang bertajuk ‘Bridging the gap in refugee respons in Southeast Asia’ pada Rabu (7/10/2020). Webinar yang disiarkan langsung melalui aplikasi Zoom Us dan kanal Youtube The Jakarta Post https://www.youtube.com/watch?v=hdTWAT-MI4k&ab_channel=TheJakartaPost ini turut menghadirkan Febrian Alphyanto Ruddyard (Direktur Jenderal Kerja Sama Multilateral Kementerian Luar Negeri RI), Achsanul Habib (Direktur Hak Asasi Manusia dan Kemanusiaan, Ditjen Kerja Sama Multilateral, Kementerian Luar Negeri), Indrika Ratwate (Direktur UNHCR untuk Asia dan Pasifik), dan Haryo Mojopahit (General Manager Divisi Adovkasi dan Perlindungan Hukum Dhuafa, Dompet Dhuafa).

Kasus Rohingya tengah menjadi fokus perbincangan internasional di kancah Asia Tenggara. The United Nations High Commission for Refugees (UNHCR) memcatat pengungsi dari Myanmar merupakan jumlah pengungsi terbesar pada akhir tahun 2019 dengan perkiraan 1,1 juta pengungsi yang tersebar ke beberapa wilayah Bangladesh, Malaysia, Thailand, dan Indonesia. Ditambah dengan hadirnya pandemi Covid-19 di dunia menambah tuntutan bagi seluruh pemangku kebijakan, organisasi, dan stakeholder untuk mematangkan kembali komitmen bersama untuk membantu dan mencari solusi dari persoalan ini.

"Permasalahan yang kompleks ini tidak bisa diselesaikan dengan satu solusi. Kewajiban membantu pengungsi tidak hanya berada di tangan negara asal atau transit. Melainkan seluruh pihak (collective responsibility)," jelas Indrika.

Akibat konflik sosial, ekonomi, dan lingkungan, pengungsi merupakan salah satu kelompok rentan yang harus dibantu dan dilindungi. Untuk bisa melihat hal ini, adapun contoh yang bisa disoroti ialah peran serta dari The Bali Process yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dan Australia.

"The Bali Process merupakan forum dialog kebijakan dalam menyuarakan isu-isu tentang pengungsi untuk bekerja sama dalam menyelesaikan masalah-masalah yang dialami oleh pengungsi seperti memerangi perdagangan manusia (human trafficking), mengangkat hak-hak kesehatan dan lain-lain," jelas Febrian.

Dompet Dhuafa sebagai lembaga filantropi Islam tengah turut serta membantu persoalan ini. Bekerjasama dengan pihak beberapa stakeholder, Dompet Dhuafa mendirikan School of Refugee, di mana para pengungsi dari negara luar diberikan keterampilan agar mampu bisa berkontribusi kepada masyarakat,seperti kelas bisnis, kelas memasak, reparasi telepon genggam dan lain-lain. Selain itu Dompet Dhuafa memberikan pelayanan kesehatan di seluruh fasilitas kesehatan Dompet Dhuafa untuk para pengungsi.

Meski Indonesia bukan termasuk negara yang meratifikasi Konvensi Internasional 1951 dan Protokol 1967 tentang Status Pengungsi serta Konvensi 1954 tentang Status Orang Tanpa Kewarganegaraan. Indonesia memiliki Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi Dari Luar Negeri. Melalui Perpres ini Indonesia tengah membantu para pengungsi yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.

"Apa yang Dompet Dhuafa lakukan berlandaskan Perpres ini. Sehingga dengan diberlakukannya program-program untuk memberikan kesejahteraan pengungsi mampu mengajak stakeholder lain untuk turut serta membantu bersama," tutup Haryo. (Dompet Dhuafa / Foto: Fajar / Penulis: Fajar / Editor: Dhika Prabowo)