Catatan Kesehatan Tentang Berpuasa Selama Pandemi COVID-19 (Bagian 3)

Foto ilustrasi (diambil sebelum ada anjuran physical distancing dari WHO)

SIARAN PERS, JAKARTA — Kemudian dari beragam catatan sebelumnya, dr. Yenny Purnamasari MKM., menjelaskan bahwa ada catatan khusus bagi yang memiliki berkah sakit. Puasa memang dianjurkan oleh umat islam. Namun dengan catatan bahwa mereka yang ingin melakukannya harus sehat. Jika mereka memiliki penyakit tertentu mereka harus merujuk diri ke dokter. Kemudian dilakukan diagnosis, baru setelah itu diputuskan apakah boleh melakukan puasa atau tidak. Seperti ibu hamil (bumil) misalnya. 

Bumil yang di atas trimester pertama biasanya relatif stabil. Jadi tidak ada gejala hiperemensif atau mual muntah berlebihan. Kalaupun ada gejala ini, artinya ia akan kekurangan cairan. Berpuasa hanya akan memperburuk kondisinya.

Kalau trimester pertama tidak ada gangguan itu silahkan berpuasa. Namun tetap dilihat perkembangan ke depannya. Apakah berat janinnya mengalami penurunan atau tidak? Dari hasil diagnosis itu baru dokter boleh menganjurkan berpuasa atau tidak. 

Hal sama juga berlaku bagi mereka yang positif COVID-19. WHO sendiri menganjurkan untuk berkonsultasi dahulu kepada dokter dan ahli agama yang kompeten dalam menjelaskan itu. Karena tidak dimungkiri, orang yang sedang dalam terserang penyakit. Mereka butuh perhatian ekstra dalam merawat diri. Jika dokter dan ahli agama melihat tidak memungkinkan apabila seorang pasien COVID-19 menjalankan puasa. Maka mereka sangat tidak dianjurkan untuk melakukan hal itu.

Walaupun banyak yang melihat puasa merupakan salah satu cara untuk meningkatkan imunitas tubuh. Namun puasa bukanlah satu-satunya cara untuk meningkatkan imun tubuh. Artinya semua kembali lagi dari hasil diagnosis yang ada. Maka, bagi yang memiliki catatan khusus, perlu ada konsultasi pada sang ahli, untuk mendapatkan anjuran berpuasa atau tidak. (Dompet Dhuafa/Fajar)