Cegah Stunting Melalui Gizi Seimbang, Bukan 4 Sehat 5 Sempurna

SIARAN PERS, JAKARTA — Indonesia memiliki tiga masalah gizi: kekurangan gizi (sebanyak 27,67% balita memiliki tubuh yang pendek dan 10,2% balita dengan tubuh kurus); kegemukan dan obesitas (ada 8% balita yang memiliki tubuh gemuk. Sedangkan obesitas yang terjadi pada dewasa sebesar 21,8%); defisiensi zat gizi mikro (48,9% ibu hamil mengalami anemia).

“Ketiga masalah di atas pada akhirnya mendatangkan masalah lain. Salah satunya stunting,” ujar Dr. Hera Nurlita, S.Sit, M. Kes (Kasi Mutu Gizi Kementerian Kesehatan RI) ketika mengisi diskusi publik “Kerawanan Pangan dan Tantangan Stunting Anak Negeri” di RBoj Coffee, Jakarta Selatan, Jumat (28/2/2020).

Jumlah angka stunting masih terbilang tinggi pada 2018. Peringkat tertinggi dipegang oleh NTT sebesar 42,7%. Sedangkan paling rendah berada di Jakarta 17,6%. Akan tetapi jika kita melihat dalam skala nasional. Angka stunting di Indonesia memang menunjukan penurunan. Pada 2013 stunting berada di angka 37,2%. Kemudian 2018 mencapai 30,8%. Kedua angka tersebut berasal dari Riskesdas. Lalu di 2019, SSGBI menunjukan angka stunting berada di 27,7%.

“WHO mencatat standar angka stunting itu berada di bawah 20%. Secara nasional Indonesia belum mencapai itu,” tambahnya.

Akar masalah dari itu semua memang kemiskinan dan rendahnya pendidikan yang ada. Sehingga mengakibatkan dua penyebab stunting. Baik langsung maupun tidak langsung. Ambil contoh, penyebab tidak langsung ialah banyaknya penduduk yang rawan akan pangan (7 juta) dan minimnya akses pada sanitasi yang layak (22,39%). Pada akhirnya mengakibatkan penduduk terjangkit penyakit dengan pola makanan yang tidak beragam.

“Terutama di bulan-bulan bencana banjir seperti sekarang ini,” lanjutnya.

Sehubung dengan itu, berbagai intervensi sudah dilakukan sebagaimana amanat UU No.36 Tahun 2009. Salah satunya ialah dengan Gerakan 1.000 Hari Pertama Kelahiran (HPK). Gerakan tersebut terdiri dari intervensi gizi spesifik (langsung) dan intervensi gizi sensitif (tidak langsung). Intervensi gizi spesifik itu meliputi promosi dan konseling menyusui & pemberian makan bayi dan anak (PMBA), suplementasi gizi mikro (tablet tambah darah, kapsul vitamin A), suplementasi gizi makro (makanan tambahan ibu hamil dan balita), pemantauan pertumbuhan dan perkembangan balita, serta tatalaksana gizi buruk. Sedangkan intervensi sensitif berupa penanggulangan kemiskinan, pemberdayaan masyarakat, akses sanitasi dll. Artinya intervensi di sektor non-kesehatan.

“Tapi kita bisa melakukan (pencegahan) dari hal yang kecil sekalipun. Seperti mengonsumsi gizi yang seimbang. Kemudian juga mempertimbangkan input dan output,” pungkasnya.

Gizi seimbang dapat dilihat melalui Pedoman Umum Gizi Seimbang. Di sana mengatur konsumsi dengan porsi yang cukup ketat. Contoh saja, misal, sesorang harus mengonsumsi sayuran dari 3–5 porsi perharinya. Anjuran untuk melakukan aktivitas olahraga. Sehingga gizi seimbang merupakan metode paling cocok untuk mencegah stunting.

“Jadi bukan lagi 4 sehat 5 sempurna. Tapi gizi yang seimbang,” tutupnya. (Dompet Dhuafa/Fajar)