Edah, Pendidik Ulung dari Ujung Barat Jawa (Bagian Satu)

SIARAN PERS, PANDEGELANG, BANTEN — Istilah ‘Guru Pahlawan Tanpa Tanda Jasa’ rupanya masih nampak sangat eksplisit di tahun 2020. Contoh yang bisa menjabarkan itu ialah sosok Edah (35) atau biasa disapa Bu Edah, guru agama di Madrasah Diniyah Anwarul Hidayah, Pandegelang, Banten.

Ya, sebelum masuk ke perjuangan Bu Edah dalam mendidik, mari lihat terlebih dahulu latar wilayah tempat Bu Edah mengajar. Kampung Cipeutey, Desa Ciseureuheun, Kecamatan Cigeulis, Kabupaten Pandeglang, Banten, adalah pemukiman pedesaan yang masih asri dan otentik. Rumah-rumah warga hanya berdiri dengan kayu dan dinding rajutan bambu. Warganya kebanyakan hanyalah petani. Dari tempat wisata Tanjung Lesung yang mahsyur itu, hanya berjarak satu jam perjalanan darat. Sedangkan dari pusat Kota Pandegelang bisa ditempuh 3 jam lamanya.

Sebagian besar masih mengandalkan sungai untuk kebutuhan mandi cuci dan kakus, khas kehidupan di pedesaan. Belum banyak terpapar modernisasi, sekalipun sinyal handphone sudah masuk untuk provider tertentu. Disana, Edah lahir dan besar, hingga hari ini ia mengabdi ganti mendidik anak-anak disana. Berharap tak ada lagi buta huruf seperti yang ada di generasinya.

“Mohon maaf ya, pak, beginilah desa kami, sudah pasti berat untuk bapak ibu bisa sampai kesini,” sapa Bu Edah pada tim Dompet Dhuafa yang bertamu di kediamannya.

Tidak salah juga Bu Edah merasa sedikit sungkan kepada kami, butuh waktu 30 menit lamanya menyusuri jalan terjal berbatu untuk bisa sampai kesana. Bukan jalan rusak, hanya saja lebih mirip jalan batu yang belum pernah mengenal aspal sebelumnya. Besar bebatuan itu bisa menyerupai ukuran kepala kerbau, membuat kendaraan apapun diatasnya bergejolak minta putar balik. Bila hujan datang, jalan kaki tentu lebih efisien karena bukan hanya berbatu, jalan kini jadi licin.

Mari beranjak ke rutinitas seorang Bu Edah. Sebagai satu dari sedikit sarjana di desanya, Edah kini berprofesi sebagai seorang guru. Pagi-pagi sekali ia beranjak untuk mengajar di SMP N 01 Cibaliung. Butuh waktu satu jam dari rumahnya hingga sampai ke sekolah tempat ia mengajar, melewati jalan berbatu itu lagi. Disana ia mengajar dan digaji sepertihalnya guru-guru lainya. Tiba pukul 12 Siang, Edah telah usai dengan tugasnya mengajar di SMP. Pulanglah Bu Edah kembali ke rumahnya, satu jam ia tempuh, melewati jalan berbatu itu lagi, sembari terus berdoa tak ada hujan turun sbeelum ia sampai di rumah.

Pukul setengah dua siang, setelah ia mandi, sedikit beristirahat, dan bercengkrama dengan anaknya, ia kembali mengajar. Ajaibnya, hanya dengan waktu setengah jam, ia melupakan semua rasa lelah mengajar, dan perjalanan panjang pulang pergi menyusuri jalan berbatu seukuran kepala kerbau itu.

Kini, ia dihadapkan pada definisi guru sebenarnya yang syarat akan pengabdian. Madarasah Diniyah Anwarul Hidayah, tempat bermain dan belajar bagi anak-anak di desa tersebut. Namun bagi Edah, itu adalah ladang tempat memanen pahala dan pengabdiannya sebagai guru. Sudah 12 tahun lamanya, ia mengajar disana, tanpa sekalipun pernah mendapatkan gaji. (Dompet Dhuafa / Foto & Penulis: Zulfana / Editor: Dhika Prabowo)