FOZ Gelar Diskusi Tinjau UU Zakat: Pengelolaan Zakat Terpusat atau Swadaya

SIARAN PERS, JAKARTA — “Masyarakat yang telah mengelola zakat jauh sebelum Undang-undang Pengelolaan Zakat disahkan, telah didegradasi model manajemen zakatnya, dari pengelola menjadi pengumpul. Di sisi lain mayortias masyarakat juga masih melakukan pembayaran zakat dengan menitipkannya kepada kyai, ustadz, ajengan, dan lain-lain. Alias masih tradisional,” jelas Arif R.Haryono selaku Ketua Bid.II FOZ Nasional.

Semenjak UU Zakat No. 23/2011 disahkan, berbagai pihak masih terus meninjau kembali efektivitas dan dampak dari penerapan peraturan tersebut. Salah satunya Forum Zakat (FOZ) yang menggelar diskusi nasional berbasis webminar yang bertajuk “Arsitektur Gerakan Zakat Indonesia: Meninjau Tata Kelola UU Zakat No.23/2011 dari Sisi Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik” via aplikasi daring Zoom Us (Selasa, 19/8/2020).

“UU Zakat ini diawali SK Gubernur DKI Jakarta No. Cb. 14/8/18/68. Tapi baru di tahun 90-an pemerintah berusaha menangkap animo atas dinamika masyarakat muslim dan aktivitas kedermawanan social di Indonesia. Zakat perlu perundang-perundangan,” tambahnya.

Potensi zakat Indonesia diperkirakan mencapai IDR 233 triliun (IDB, 2019). Namun dengan potensi yang sebesar itu undang-undang pengelolaan zakat masih berkutat di persoalan administratif dan birokratif. Lewat UU Zakat ini mendorong lembaga zakat nasional, dalam hal ini BAZNAS, untuk mengakuisisi Lembaga Amil Zakat yang berdiri, ketimbang mendorong pengembangan kapasitas organisasinya agar dapat mengikis kesenjangan antara potensi dengan realisasi zakat.

Selain itu lewat UU Zakat ini para muzakki dipaksa mengubah pola penyalurannya kepada lembaga yng terakreditasi pemerintah. Juga ada restriksi kuat terhadap pengelolaan zakat oleh masyarakat terutama berbasis BUMN, perkantoran, masjid, kampus, komunias, dan lembaga zakat lainnya.

“Kembalikan hak pengelolaan di tangan masyarakat. Biar dikelola bareng-bareng. Jadi juga harus ada perlindungan hak pengelolaan zakat. Apakah akan kena pidana bagi orang yang menitipkan zakatnya kepada seseorang? Semisal seorang kyai?” lanjutnya.

Irfan Syauqi Beik (Direktur Pendayagunaan dan Distribusi Zakat BAZNAS), menjawab bahwa itu bukan merebut ataupun meminggirkan pengelolaan zakat yang bersifat tradisional. “Kita bukan meminggirkan atau mendegradasikan masyarakat. Melainkan kita mencoba mengsinergikan dan merangkul masyarakat dalam menerapkan pengelolaan zakat,” ujarnya

“BAZNAS memiliki lima pilar pembangunan yakni regulasi, database, kelembagaan, dampak, dan sinergi. BAZNAS juga dalam praktiknya diawasi oleh Kemenag. Jadi evaluasi dan perbaikan terus kita lakukan baik di tingkat daerah maupun nasional,” tegasnya.

Selly Andriyani G selaku Anggota Komisi VIII DPR RI melihat ada tiga tantangan dalam menerapkan UU Zakat ini. Pertama soal sentralitas, laporan lapangan, dan penggiringan penyaluran dana zakat. 

“Karena tujuan umum UU No. 23 Tahun 2011 tentang pengelolaan zakat ialah mendorong sebuah sistem regulasi perzakatan menjadi jelas dan baik, demi meningkatkan keadilan dan kesejahteraan masyarakat,” tutup Selly.

Diskusi ini juga menghadirkan H.M. Fuad Nasar (Direktur pemberdayaan Zakat dan Wakaf Kementerian Agama RI), dan Qurrata Ayuni (Pengamat Hukumtata Negara Universitas Indonesia). (Dompet Dhuafa/Fajar)