Gempa Palu dan Lombok dari Kacamata Labing DMC

SIARAN PERS, JAKARTA — Pada salah satu program Salam Radio, Manajer Respon Disaster Management Center (DMC) Dompet Dhuafa, Abdul 'Labing' Azis, sebagai narasumber Program Salam Lentera Kebajikan yang bertajuk 'Pembakti Anak Bangsa', menceritakan pengalamannya dalam dunia kemanusiaan, juga bagaimana DMC Dompet Dhuafa dalam merespon segala bentuk kebencanaan (Selasa, 14/7/2020).

Agustian sebagai host acara menanyakan, tentang bagaimana DMC secara cepat menangani kasus-kasus kebencanaan yang bisa dikatakan sering terjadi dan secara merata si seluruh tanah air. Di mulai dari gambaran umum, Labing menceritakan tentang DMC yang merupakan salah satu organ Dompet Dhuafa yang khusus menangani kebencanaan.

"Sejak tahun lahirnya yaitu 1994, ketika terjadi suatu bencana, DMC langsung menerjunkan tim dari Jakarta menuju lokasi bencana. Namun makin ke sini, karena jaringan Dompet Dhuafa dan relawannya sudah begitu luas, maka yang kami terjunkan pertama kali adalah relawan. Supaya dapat secepat mungkin menjangkau titik lokasi. Dengan catatan relawan tersebut sudah pernah mendapat pelatihan kebencanaan dari DMC", ungkap Labing.

Bergabung secara resmi dengan DMC Dompet Dhuafa sejak tahun 2009, banyak pengalaman suka maupun duka dialami oleh Labing. Di tahun pertama gabung, ia langsung serta turun menangani bencana gempa bumi di Padang dan Tasikmalaya. Saat itu di Tasikmalaya, berbagai sektor lumpuh termasuk ekonomi transportasi, pendidikan, kesehatan, layanan daerah, dan lainnya. Bersama rekan lainnya, Labing mendapat tugas menangani sektor pendidikan.

“Saat itu, yang kami lakukan adalah sesegera mungkin memperbaiki salah satu sekolah yang rusak, supaya anak-anak tetap bisa melangsungkan aktivitas belajar, sekaligus sebagai Psychological First Aid (PFA) bagi anak untuk memperkecil efek trauma yang mereka alami akibat bencana,” akunya.

Bagi Labing, pengalaman yang paling berkesan selama menangani berbagai macam bencana adalah ketika bencana alam gempa bumi yang terjadi di Palu dan Lombok pada tahun 2018 dan 2019 lalu. Yang menjadikan 'spesial' adalah karena aksesnya yang begitu sulit. Saat itu, Labing mendapat tugas penyusuran ke lokasi dengan menggunakan jalur darat.

“Itu antriannya sangat panjang karena sistem aksesnya buka-tutup jalur, dikarenakan jalur yang memang sangat terbatas. Selain itu lokasi terdampaknya sangat luas. Sampai malam, terkadang kita tiba-tiba mendengar suara teriakan orang minta tolong, di samping itu kondisi sangat gelap tidak ada listrik,” lanjutnya.

Ia lanjutkan, “Hal berkesan lainnya adalah, seperti yang diinfokan di media kebanyakan, bahwa penjarahan saat itu terjadi di mana-mana. Yang kita takutkan bukan logistik kita dijarah, justru karena kita ini tim evakuasi yang tidak bawa logistik, akhirnya terjadi kerusuhan lain. Mobil polisi aja dijarah kan, apalagi mobil lainnya".

Bergerak di kegiatan kebencanaan, di kala orang-orang akan berlarian menjauhi bencana, berbeda dengan orang-orang seperti Labing dan para relawan kemanusiaan lainnya, mereka justru segera mungkin berupaya akan mendekat dan membantu. Untuk mengatasi rasa kekhawatiran atas kejadian-kejadian lain yang tak terduga, Labing dan Tim DMC memiliki cara tersendiri.

“Apapun bencananya pasti ada rasa khawatir. Hanya ya kembali ke niatan awal, kami niatnya karena membantu atas dasar kemanusiaan. Dengan ikut merasakan apa yang dirasakan oleh orang yang terdampak, itu justru semakin membuat saya semangat untuk membantu dan menolong,” paparnya. (Dompet Dhuafa/Muthohar)