Jeratan Stunting Di Indonesia: Beberapa Catatan Riset IDEAS

JAKARTA — Pada 2018, terdapat 92 kabupaten-kota dengan prevalensi stunting balita lebih dari 40 persen. Tertinggi adalah Kab. Nias (61,3 persen), Kab. Dogiyai (57,5 persen), Kab. Timor Tengah Utara (56,8 persen), Kab. Timor Tengah Selatan (56,0 persen), Kab. Waropen (52,6 persen) dan Kab. Pangkajene, serta Kepulauan (50,5 persen). Pada saat yang sama, 206 kabupaten-kota memiliki prevalensi stunting antara 30-40 persen. Dengan kata lain, 58 persen kabupaten-kota di seluruh Indonesia menghadapi masalah prevalensi stunting yang serius, lebih dari 30 persen. Hanya 34 kabupaten-kota yang pada 2018 tercatat memiliki prevalensi stunting di bawah 20 persen.

Dalam paparannya Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) Dompet Dhuafa ketika mengisi diskusi publik “Kerawanan Pangan dan Tantangan Stunting Anak Negeri” di RBoJ Coffee, Jakarta Selatan (28/2/2020). Mengemukakan banyak hal seputar stunting. 

Rendahnya pendapatan

"Rendahnya konsumsi pangan yang seimbang disebabkan rendahnya pendapatan," ujar Fajri Azhari, selaku Peneliti IDEAS. 

Dengan minimnya pendapatan membuat masyarakat masuk ke dalam lingkaran kemiskinan pangan: rendahnya konsumsi pangan baik secara kualitas maupun kuantitas. Temuan IDEAS pada 2018. Kelompok masyarakat terkaya mengonsumsi pangan dengan jumlah banyak. Ambil contoh daging sapi. Kelompok masyarakat terkaya konsumsi 4,25 kg daging sapi per tahun. Sedangkan kelompok masyarakat miskin konsumsi 0,01 kg daging sapi pertahun. 

Masih pada data yang sama. Masyarakat, ketika menghadapi kondisi harga pangan yang mahal, maka mereka cenderung untuk mengonsumsi makanan pokok yang terjangkau dan mengenyangkan, seperti beras. Pada 2018 kelompok termiskin rata-rata mengonsumsi 74,4 kg beras pertahun. Berbeda dengan kelompok terkaya yang konsumsi 60,89 kg beras pertahun. 

Selain persoalan perbedaan jumlah pendapatan, akar masalah juga terletak pada rendahnya kinerja sektor pangan nasional. Sepanjang 2018, Indonesia mengimpor 410 ribu ton daging, 240 ribu ton susu, 10,1 juta ton gandum, 2,59 ton kedelai dan 2,25 juta ton beras. Ketergantungan pada pasar pangan global sangat beresiko tinggi. Karena tidak hanya melihat dari fluktuasi harga namun juga karena ketersediaan pasokannya. 

"Stunting tidak akan selesai kalau hak akses pangan tidak terpenuhi," tambahnya. 

Tingkat pendidikan dan mobilitas

Selain karena soal pendapatan. Pendidikan juga memengaruhi pola konsumsi seseorang. Misalnya dalam data Karakteristik Rumah Tangga dengan Pengeluaran untuk Makanan 10% Terendah 2018, mencatat kelompok termiskin seringkali melakukan belanja pangan yang tidak bijak. Hal tersebut terlihat rata-rata pengeluaran untuk makanan perkapita itu sebesar Rp.199.340,- 58% dari total pengeluaran secara keseluruhan yang totalnya Rp.341.694. Kurang bijak misal rumah tangga miskin lebih memilih mengeluarkan uang untuk rokok ketimbang untuk pangan yang seimbang. 

Pada tahap yang lebih lanjut. Berdasarkan penelusuran data longitudinal 4.341 anak sepanjang 21 tahun, antara 1993 – 2014, melihat stunting itu berdampak buruk pada pencapaian tingkat pendidikan anak di masa depan. Dari 1.468 yang menderita stunting pada 1993, hanya 49% yang mampu mencapai tingkat pendidikan lebih dari SMA pada 2014. Berbeda dengan yang tidak menderita stunting, 62% mampu mencapai tingkat pendidikan lebih dari SMA. Jadi tingkatan pendidikan memengaruhi bagaimana pola konsumsi seseorang yang pada akhirnya juga akan memengaruhi pola konsumsi generasi selanjutnya hingga mengakibatkan stunting. Selanjutnya stunting memengaruhi bagaimana seseorang mencapai tingkat pendidikannya.

"Stunting akan memengaruhi aspek human capital," lanjutnya. 

Semua rawan stunting

Rendah pendapatan dan pendidikan memang cenderung orang untuk memilih pola konsumsi yang kurang bijak. Namun jika melihat data IFLS (Indonesia Family Life Survey) 2014, dari 15.922 anak yang tidak terkategori stunting, 10.633 anak atau 59% berpotensi stunting. Artinya tidak hanya kelompok miskin saja yang punya kemungkinan terjangkit stunting. 

"Yang terkaya pun besar memilih makanan yang membahayakan tubuh mereka," pungkasnya. 

Intervensi dari berbagai pihak di segala lini bidang sangatlah penting. Mengingat kompleksitas yang ada, Indonesia tidak bisa hanya mengandalkan pemerintahannya saja. Seluruh elemen masyarakat harus terlibat dalam mengatasi masalah tersebut. Salah satunya mungkin bisa dilakukan dengan memberikan edukasi soal implikasi kesehatan, sosial dan lingkungan dari pangan yang mereka konsumsi. (Dompet Dhuafa/Fajar)