Kisah Pasutri Sepuh Penyintas Semeru: Rumah dan Sawah Hancur, Bersyukur Cucunya Tak Gugur (Bagian Dua)

LUMAJANG, JAWA TIMUR — Seakan Dusun Kajar Kuning, Desa Sumberwuluh, Kabupaten Lumajang, sudah menjadi bagian dari tubuhnya. Lahir di sana, besar di sana, mencari kehidupan di sana. Menjalani kehidupan tanpa terjadi bencana sejak kecil, Pak Hasyim merasa sangat nyaman dan tentram menjadi warga Dusun Kajar Kuning.

Rumah berlatar belakang Gunung Semeru yang gagah menjulang menembus awan, halaman rumah yang luas dengan berbagai macam tumbuhan cantik, tetangga-tetangga yang super ramah, suhu yang sejuk tanpa harus memasang AC, juga dikelilingi oleh lahan-lahan pertanian maupun perkebunan dengan air yang melimpah, menjadikan Pak Hasyim selalu memanjatkan syukur kepada Allah, Sang Pemilik Alam Semesta. Hal tersebut juga ia tularkan kepada istri, serta anak dan cucu-cucunya.

Maka sangat tak disangka, dengan tanpa aba-aba, Gunung Semeru mengalirkan lahar dingin ke arah pemukiman Dusun Kajar Kuning ditambah semburan dan hamburan awan panas yang menghujaninya dengan dahsyat. Tidak hanya itu, guncangan akibat erupsi juga menambah besar dampak bencana ini hingga rumah-rumah banyak yang rusak, tak terkecuali rumah Pak Hasyim.

“Mboten nyono, kula 65 tahun urip teng mriki teruse wonten bencana niki. Biasane nggeh mung gluduk-gluduk mawon. Mboten nate lahar nyampe Kajar Kuning (Tidak nyangka, Saya 65 tahun di sini kemudian terjadi bencana sebesar ini. Biasanya ya cuma petir-petir saja. Tidak pernah sampai ada lahar sampai di Kajar Kuning),” kata Pak Hasyim di dampingi sang istri saat bercerita kepada tim Dompet Dhuafa di tenda pengungsian di Desa Penanggal, Kecamatan Candipuro, pada Selasa (28/12/2021).

Tidak hanya rumah tempat tinggal yang hancur, melainkan juga lahan-lahan pertanian dan perkebunan serta peternakan juga menjadi sasaran dampak musibah dahsyat ini. Padahal, warga di sana memanglah bermata pencaharian utama sebagai petani dan peternak. Lahan serta penghasilan Pak Hasyim pun tak luput dari yang terdampak.

Kesehariannya bersama sang istri adalah bertani dan berkebun. Tidak ada aktivitas lain selain itu kecuali menjualkan hasil tani dan kebunnya berupa padi dan cabai.

Masih dengan nada pilu, Sukarminah sang istri menyebutkan, bahwa seharusnya Hari Minggu ia sudah mulai memanen cabai, namun pada Sabtu sore, sehari bahkan beberapa jam sebelum waktu itu tiba, semuanya seketika lenyap tak tersisa. Tidak hanya itu, lima hari setelah erupsi, seharusnya padi yang ia tanam bersama sang suami sudah siap untuk dipanen.

“Ini sebenarnya sudah waktunya panen. Tapi sudah habis semua cabai-cabainya dan padi-padinya. Sebelum kejadian, cabainya itu sudah-merah-merah, padinya pun sudah kering. Sudah waktung dipanen pokoknya. Harusnya, cabaing besoknya sudah mulai panen. Padinya kurang lima hari lagi juga sudah panen. Semuanya sudah habis, tapi Alhamdulillah yang penting orang-orangnya selamat,” lanjut cerita Bu Sukarminah.

Baca Juga: https://dompetdhuafa.org/id/berita/detail/Kisah-Pasutri-Sepuh-Penyintas-Semeru–Rumah-dan-Sawah-Hancur–Bersyukur-Cucunya-Tak-Gugur–Bagian-Satu

Bila mengingat peristiwa itu, isak tangis sedih serta tetesan air mata tiba-tiba mengucur tak terbendung dari mata ibu berdarah Madura ini. Meskipun dirinya dan keluarga selamat dari bencana maut, namun bingkai-bingkai film menakutkan itu masih kerap terputar jelas dibenaknya.

Sukarminah dan sang suami saat ini masih belum terfikir untuk bagaimana memulainya lagi dari nol. Yang menjadi sangat penting untuk saat ini adalah tempat tinggal. Ia berharap rencana relokasi yang digagas oleh pemerintah melalui lembaga-lembaga sosial seperti Dompet Dhuafa dapat segera terwujud.

“Semoga rencana relokasi itu benar ada dan diwujudkan. Saat ini yang kami butuhkan adalah tempat tinggal, karena saya masih harus merawat kedua cucu saya yang yatim itu. Yang lainnya insyaAllah akan difikirkan kalau cucu-cucu saya sudah nyaman punya tempat tinggal,” tandasnya. (Dompet Dhuafa / Muthohar)