Kisah Simin, Manusia Gubuk Yang Menanti Rumah Impiannya (Bagian Dua)

SIARAN PERS, PALU — Waktu sudah menunjukan pukul 06.45 WITA, Tatia yang baru duduk di bangku kelas 6 SD, bersiap berangkat. Dengan senyum simpul, ia mengikat tali sepatu. Rok warna merahnya nampak kekecilan, seperti terpaksa dipakai. Karena sudah tidak muat dengan ukuran Tatia. Kemeja putih yang seharusnya dipakai siswa SD, ia ganti dengan kemeja biasa warna putih. Tak ada bet bertuliskan ‘Tut Wuri Handayani’. Entah di mana rimbanya, intinya kemeja itu sudah tidak layak. Sehingga tak ia  pakai lagi. Walau dengan kondisi tersebut, semangat belajar Tatia sama sekali tidak pernah luntur. Tatia merupakan anak kesayangan dari Simin. Ia merupakan anak yang sangat penurut dan terlebih, Tatia adalah anak yang sangat suka sekolah. 

“Anakku sangat penurut dan berbakti. Ia pernah minta dibangunkan rumah biar bisa belajar. Tapi saya tidak bisa,” terang Simin.

Setelah gempa, Simin memendam dalam-dalam impiannya mendapatkan rumah, baginya yang hanya bekerja serabutan, mustahil memiliki rumah. Lalu, bagai tertimpa durian runtuh, Simin mendapatkan kabar gembira itu. Tim rekontruksi Dompet Dhuafa datang dengan niatan membangunkan Huntap (Hunian Tetap) untuknya.

“Aku sangat senang dengan bantuan dari Dompet Dhuafa. Aku kabari Tatia dan anak-anakku, mereka sangat senang sekali, dapat rumah baru,” akunya dengan ekspresi gembira.

Berada di atas lahan samping gubuknya, dibangunlah  rumah bertipe 36. Berpondasi kokoh, bertembok beton, dua kamar tidur, satu ruang keluarga yang luas, lengkap dengan kamar mandi dan toilet. Tentunya bangunan tersebut juga ramah gempa. Sungguh sebuah impian sederhana yang terwujud.

Bukan hanya Simin rupanya, tak kalah bergembira adalah Tatia. Dalam pikirnya, sudah tidak ada lagi kedinginan hingga harus berbagi selimut dan air hujan yang masuk rumah. Terpenting, ia bisa belajar dengan nyaman. 

“Dulu ketika di gubuk, anak saya kurang jenak belajar, ia bilang ingin rumah baru. Tapi rejeki bapak belum ada. Aku jawab bapak tidak bisa buat (bangun rumah), harta aja tidak ada. Namun alhamdulillahnya, Dompet Dhuafa  bantu kita dan bersyukur sekali anakku mendapatkan ini,” jelasnya.

Saking gembiranya, Tatia menulis rangkaian nama di muka rumah. ‘Fatin (Tatia), Zulfi, Putra, Simin’ tertulis dengan pecahan bata warna oranye. Ada juga tulisan ‘Mama’ dengan warna oranye lebih tua, nampak ditulis belakangan.

Impian yang terwujud itu, adalah sebuah hal yang sangat sakral bagi Simin dan keluarga. Hingga seminggu setelah dibangun, Simin masih enggan menggunakan rumah barunya tersebut. Bukan karena rumahnya tak nyaman, namun ia menunggu bulan baik untuk secara resmi menggunakannya. Hal tersebut biasa dilakukan oleh masyarakat Suku Kulawi dalam menghargai rezeki. 

“Saya senang dapat bantuan tersebut, hanya kami menunggu hari baik (Eo Nabelo) untuk mulai ditinggali. Karena kalau orang tua dulu, bulan ini belum bisa (ditempati). Karena bulannya tidak baik (bulan Upi), nanti bulan depan, bulannya baik, baru bisa ditinggali,” tambahnya masih dengan bahasa Indonesia yang terbata-bata, terkadang tercampur dengan bahasa daerah Kaili.

Sembari menunggu waktu baik (Eo Nabelo) yang tinggal menunggu hari, Simin dan Tatia masih setia mendiami gubuk sederhananya. Seakan ingin mengucap kata terima kasih dan perpisahan terhadap bangunan sederhana tersebut. Mimpi sederhana Simin tidak berhenti, rumahnya yang sudah jadi. Ingin ia lengkapi dengan meja belajar dan lampu yang terang, agar anaknya, Tatia bisa belajar dengan tenang. Bila teman-temannya ingin belajar kelompok, Tatia tak lagi malu-malu.

“Kalau sudah pindah, rencana mau buat meja belajar untuk anakku belajar. Supaya bagus juga dilihat orang datang, keluarga, tamu dan teman-teman anakku,” tutupnya. (Dompet Dhuafa/Zul)