Masjid dan Kesiapsiagaan

CISAUK, TANGERANG — Saat diminta bicara mengenai Pengurangan Risiko Bencana (PRB) berbasis Masjid, penulis, Selasa (11/3/2021), teringat kisah-kisah monumental masjid-masjid yang tidak hanya tetap kokoh meski ditimpa bencana, tapi juga menjadi tempat perlindungan bagi masyarakat yang terdampak.

Masjid Rahmatullah yang hanya berjarak 500 meter dari Pantai Lampuuk, Lhoknga, Aceh Besar, menjadi salah-satu masjid yang ikonik, yang tetap berdiri kokoh di tengah puing-puing bangunan yang hancur ditimpa gempa dan Tsunami Aceh, Desember 2004.

Masih terkait dengan gempa dan tsunami Aceh tahun 2004, Masjid Raya Baiturrahman di Banda Aceh juga tidak kalah ikonik setelah menjadi tempat berlindung dari ribuan warga Banda Aceh dari terjangan tsunami.

Kemudian dari pengalaman gempa yang melanda Nusa Tenggara Barat pada pertengahan tahun 2018, kita mendapatkan pelajaran dari Masjid Kuno Bayan Beleq, yang tetap kokoh pada saat puluhan masjid lainnya yang dibangun belakangan justru hancur akibat gempa.

Dari Masjid Kuno Bayan Beleq, kita jadi bagaimana nenek moyang warga Sasak yang mendiami Lombok selama ratusan tahun benar-benar memahami karakteristik geologi Lombok. Pemahaman itu yang diaktualisasikan dalam teknik arsitektur bangunan yang terbukti sesuai dengan karakteristik bahaya yang ada di Lombok.

Sayangnya, pemahaman tersebut sepertinya tidak berlanjut, sehingga  menurut catatan rekan-rekan LAZ Dasi NTB, tidak kurang dari 50 bangunan masjid di Pulau Lombok harus hancur akibat gempa yang datang secara beruntun pada saat itu.

Pengurangan risiko bencana secara sederhana adalah konsep dan praktek mengurangi risiko bencana melalui upaya sistematis untuk menganalisa dan mengurangi faktor-faktor penyebab bencana.

Pengurangan risiko bencana memiliki dua basis analisis, yakni mempelajari kecenderungan dari kejadian-kejadian bencana yang sudah lampau untuk memprediksi ancaman-ancaman yang kemungkinan besar akan terjadi di masa yang akan datang.

Jika dikaitkan dengan masjid, maka konsep pengurangan risiko bencana paling tidak akan menyasar tiga aspek. Yakni, struktur dan keamanan masjid dari ancaman bencana; sistem kesiapsiagaan dan kecakapan takmir atau pengelola masjid dalam mengelola respon bencana secara efektif; dan tingkat literasi jamaahnya dalam memahami dinamika ancaman bencana yang terjadi di sekitar lokasi tempat tinggalnya.

Pada aspek struktur dan keamanan masjid, yang harus diperhatikan adalah sejauh mana kedekatan masjid dengan ancaman-ancaman bencana.

Misalnya, apakah masjid berada di daerah yang berpotensi terjadinya banjir, longsor, atau gempa? Apakah strukturnya memungkinkan masjid bisa tetap memberikan pelayanan kegiatan ibadah atau mampu memberikan perlindungan bagi jamaah pada saat terjadinya bencana?

Apakah masjid dilengkapi dengan “building code” atau fasilitas yang memungkinkan jamaah–termasuk yang berkebutuhan khusus–bisa mendapatkan perlindungan secara cepat?

Kemudian, pada aspek sistem kesiapsiagaan dan kecakapan takmir atau pengelola. Yang perlu mendapatkan perhatian adalah apakah ada standar operasi tertentu yang memungkinkan masjid memberikan pelayanan kegiatan ibadah atau perlindungan bagi jamaah pada keadaan-keadaan bencana?

Apakah takmir mendapatkan pelatihan-pelatihan yang memungkinkannya memiliki keterampilan untuk bisa merespon bencana secara efektif bagi jamaahnya? Dan seterusnya.

Aspek selanjutnya adalah literasi kebencanaan pada jamaah. Tidak bisa dipungkiri, pengetahuan akan bencana memberikan sumbangan yang signifikan bagi terbentuknya ketangguhan masyarakat.

Untuk itu, semua potensi pengembangan literasi perlu dioptimalkan, termasuk diantaranya kajian-kajian rutin yang dilakukan di masjid-masjid. Proses pengembangan literasi kebencanaan tidak perlu terlalu rumit. Bisa dimulai dari hal sederhana, misalnya dengan selalu menyampaikan terlebih dulu prosedur keselamatan di masjid sebelum memulai kajian.

Berdasarkan data dari Sistem Informasi Masjid Kementerian Agama RI, terdapat setidaknya 275 ribu masjid dan 322 ribu mushalla di seluruh Indonesia. Jumlah ini tentu saja sangat besar, baik jika ditinjau dari aspek aset maupun potensi bahaya.

Untuk itu, pada level makro, penulis mengusulkan agar Dewan Masjid Indonesia dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana selaku otoritas penanggulangan bencana di Indonesia untuk bersinergi menyusun baseline Masjid Indonesia berdasarkan ancaman-ancaman bencana yang mungkin atau pernah dihadapi.

Dengan tentu saja memperhatikan lima fungsi masjid yang sudah kita kenal sejak masa Rasulullah; sebagai tempat ibadah, tempat belajar, tempat bermusyawarah, tempat merawat orang sakit, dan asrama, maka pengarusutamaan pengurangan risiko bencana di masjid sangatlah relevan. Wallahualam. (Dompet Dhuafa / Syamsul Ardiansyah)