Menilik Asa Giat Didik Pedalaman (Bagian Empat-Selesai)

Belajar di Ruang Tak Wajar, Bersama Pengajar Tak Berbayar

LOMBOK TENGAH, NUSA TENGGARA BARAT — Berada di kawasan khas pedesaan, SDIT Fatihul Hadi Botik berhadapan langsung dengan hamparan sawah. Tentunya masih jalur tanah, beberapa genangan air hujan hari kemarin juga masih menyisa. Beberapa juga terlihat perbukitan dan pohon-pohon kelapa yang menjulang tinggi. Namun para siswa dan pengajar SDIT Fatihul Hadi Botik juga menggarap langsung hamparan asa. Tentunya di atas tanah, meski beberapa genangan air hujan hari kemarin juga masih menyisa. Pun terlihat ragam potensi dan angan cita yang menjulang tinggi.

Sejak dibangun pada tahun 2011 lalu, SDIT Fatihul Hadi Botik di Desa Mangkung, Praya Barat, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB) menjadi harapan masyarakat dan anak-anak di Desa Mangkung, Desa Orok Gendag, dan Desa Batu Keliang untuk menimba ilmu. Sekolah yang dibangun dari uang swadaya masyarakat ini merupakan satu-satunya gerbang ilmu bagi puluhan siswa yang mulai membangun mimpi di sekolah yang luasnya tidak lebih dari 9×4 meter persegi ini.

Baca Juga: https://www.dompetdhuafa.org/id/berita/detail/Menilik-Asa-Giat-Didik-Pedalaman–Bagian-Tiga

Setiap harinya, sebanyak 32 murid dari ketiga desa tersebut datang ke sekolah dengan semangat belajar yang tinggi, Amelia Selfia Devi (12) salah satunya. Jauh dari hingar bingar ibu kota, tak sedikitpun menyurutkan tekad belajar dan semangat menggapai cita-cita Amelia yang saat ini duduk di kelas VI. Di sudut ruang kelas, Amelia mulai memupuk cita-cita besarnya di sana. Ia mengaku, sekolah seperti ini tidak apa-apa, yang penting belajar. Amelia juga menyukai pelajaran IPA dan agama Islam (Fiqih, Al-Quran, Hadist, Akidah, SKI, juga Bahasa Arab).

“Saat sekolah jika di kelas tidak ada teman, ruangannya digabung dengan kelas 5. Meski hujan, belajar tetap berjalan. Ketika digabung, ya, ruangannya berisik, yang satu ramai, kita diam, bergantian,” akunya.

"Kalo sudah besar saya ingin jadi dokter, biar bisa obatin ibu yang sering sakit", seru Amelia.

Namun, tak seperti anak-anak di sekolah lain yang belajar dengan fasilitas memadai, proses belajar Amelia dan teman-temannya jauh dari kata nyaman. Ruang kelas yang hanya dibatasi triplek, sering kali tak cukup meredam suara-suara dari kelas lain. Belum lagi udara panas dari asbes yang terbakar sinar matahari semakin membuat suasana belajar sangat tidak nyaman. Sementara di kala hujan, jendela tak berkaca membuat angin dan tampias air hujan membasahi lantai kelas yang sudah hancur. Ruang kelas yang hanya dibatasi triplek, sering kali tak cukup meredam suara-suara dari kelas lain. Belum lagi udara panas dari asbes yang terbakar sinar matahari semakin membuat suasana belajar sangat tidak nyaman.

“Kalau tantangan mengajar, ya, super panas, mengajar di 2 kelas dalam 1 ruangan. Kita rolling, kelas sebelah ramai kita diam dulu. Saling pahami intonasi dengan guru sebelah. Menggambar bergantian agar ruangan yang lain agak tenang. Pintar-pintar trik kita mengajar. Kalau hujan susah, jalan disini tanahnya bukan licin lagi, tapi nempel. Paling sering kepleset. Kalau hujan anak-anak ada saja 1-2 orang yang tidak masuk. Ya, kita wajarkan saja,” sebut Ibu Guru SGI (Sekolah Guru Indonesia), Rismi Hendani.

Baca Juga: https://www.dompetdhuafa.org/id/berita/detail/Menilik-Asa-Giat-Didik-Pedalaman–Bagian-Dua

Layaknya anak sendiri, Rismi juga ingin memberi yang terbaik bagi siswa SDIT Fatihul Hadi Botik. Karena dibangun swadaya, masyarakat disana juga merasakan jiwa memiliki sekolah itu. Walau para gurunya tidak dibayar, namun peduli akan anak-anak yang ingin belajar disini. Semoga ada perubahan.

“Yang bikin saya juga tergerak disini melihat anak-anak nurut-nurut, sudah bisa mengikuti pelajaran, mengajinya pun pintar-pintar. Semoga ada perubahan,” tutup Rismi.

Baca Juga: https://www.dompetdhuafa.org/id/berita/detail/Menilik-Asa-Giat-Didik-Pedalaman–Bagian-Satu

Namun, terlihat senyum mengembang di wajah mereka. Meski sekolah belum tahu kapan direnovasi, tapi mimpi pantang diamputasi. Potret generasi penerus negeri ada di pundak mereka yang sedang berjuang belajar. Meski dengan ruang kelas yang jauh dari kata wajar. (Dompet Dhuafa / Dhika Prabowo)