Pandansari, Metamorfosis Desa Berdaya di Utara Jawa (Bagian 1)

SIARAN PERS, BREBES – Langit di desa Pandansari, Kecamatan Brebes, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah terlihat cerah, khas cuaca di Februari. Menjelang sore, biasanya mendung, lalu ketika sudah mulai gelap, tinggal menunggu waktu untuk hujan. Terkadang hujang datang tak kenal waktu, sering sore, terkadang siang, pagi juga. Hal tersebut yang membuat mengapa jumlah pengunjung di tempat wisata mangrove di Pandansari sedikit berkurang.

“Bila Jauari ke Februari ini memang jumlah pengunjung mulai berkurang, biasanya pengunjung datang hingga jumlah 1.000 lebih di hari biasa. Tapi sekarang tidak sampai 300. Lebih terpengaruh faktor cuaca sih,” terang Wahyudin, salah satu inisiator tempat wisata tersebut.

Seperti halnya wisata alam lain, trafik sangat tergantung pada alam. Tapi Udin tidak mengambil pusing perihal situasi tersebut. Ia paham bahwa wisata alam seperti mangruve juga sangat tergantung pada cuaca, sangat wajar. Hal tersebutlah yang membuatnya menjadi wisata alam. Lagi pula ketika akhir pekan, trafik pengunjung nampak normal dan tempat tersebut sudah ramai sejak pagi hari.

“Alhamdulillah, tempat kami sudah lumayan terkenal di Brebes. Kalau Sabtu dan Minggu, memang ramai,” tambah Wahyudin.

Dusun Pandansari memang idola yang bisa dibilang baru. Kuda hitam dalam pariwisata Kabupaten Brebes. Wisatawan yang baru-baru ini datang kesana, tidak tahu menahu bahwa tempat wisata tersebut dulunya hanyalah wilayah tertinggal. Awalnya, dusun tersebut hanyalah pemukiman pesisir yang jauh dari peradaban dan terpencil. Hanya kegiatan ekonomi nelayan saja yang sedikit banyak memanjangkan nafas kehidupan wilayah tersebut. Namun semua itu berubah ketika sekelompok pemuda memutuskan untuk mengenalkan mangrove pada masyarakat.

“Desa kami termasuk tertinggal. Dulu belum ada jalan aspal semacam ini. Hanya tanah berbatu, tidak ada orang kepikiran untuk berekreasi di tempat ini,” jelasnya, menggambarkan kondisi dusun Pandansari tempo dulu.

Awalnya hanya untuk melestarikan mangrove. Pada medio 90-an, adalah masa sulit bagi Desa Pandansari. Abrasi besar-besaran telah menghapus beberapa peta daratan di desa tersebut. Tambak udang dan lain sebagainya telah menyatu menjadi lautan. Ratusan petani kehilangan lahannya. Hal tersebut yang mengetuk hati Wahyudin dan rekan-rekannya. Perjuangan yang tidak mudah, karena warga Pandansari tidak melihat adanya keuntungan yang bisa diambil dari mangrove.

“Kami datangi satu persatu, rumah ke rumah, ada yang mendukung, lebih banyak yang mencela. Tapi kami khawatir, bila tidak ada mangrove, tinggal menunggu waktu sampai lautan mencapai rumah kami,” tukasnya, mengingat masa awal perjuangannya dalam mengenalkan mangrove. (Dompet Dhuafa/Zul)