Petambak Brebes Keluhkan Bendungan Sungai Cisanggarung

JAKARTA — Enam petambak asal Brebes, datang ke Kantor Pusat Bantuan Hukum (PBH) Dompet Dhuafa di Pejaten, Pasar Minggu, pada Jum’at (10/1/20) pagi. Para petambak mengeluhkan atas terjadinya abrasi yang menenggelamkan tambak mereka. Sebabnya adalah pembangunan bendungan Sungai Cisanggarung di perbatasan Jawa Tengah-Jawa Barat.

“Sejak dibangunnya bendungan Sungai Cisanggarung, berhektar-hektar lahan tambak sedikit demi sedikit mengalami abrasi, terkikis oleh ombak laut,” terang Mustofa Hawai (50), petambak asal Desa Limbangan, kepada PBH Dompet Dhuafa.

Penjelasannya adalah, lahan-lahan tambak berada di pesisir muara sungai Cisanggarung. Selama berpuluh-puluh tahun silam, warga memanfaatkan pesisir pantai dekat muara sebagai mata pencaharian, yaitu sebagai petambak. Suatu ketika, pada medio 90-an, sungai Cisanggarung dibendung dengan alasan mencegah terjadinya banjir di sekitar sungai.

Usai berhasil dibendung, justru masalah baru ditemui. Air sungai yang harusnya membawa lumpur atau tanah sedimen, harus mengendap di bendungan. Sementara itu, pesisir terus-menerus terkikis oleh ombak air laut.

“Di sana ombak memang datang setiap saat dan terkadang lumayan tinggi juga. Memang proses pengikisan pantai ada. Tapi ada siklus alaminya. Sungai membawa lumpur dari pegunungan, kemudian mengendap jadi tanah atau batuan sedimen,” jelas Mustofa.

Menurut Mustofa, ada ratusan petambak yang mengalami hal yang sama dengan dirinya. Beberapa upaya juga sudah dilakukan. Namun responnya minim.

Bendungan sungai Cisanggarung dibangun pada 1988. Setelah itu, sedikit-demi sedikit tambak sekitar pantai mulai terkikis oleh air laut. Pada 1995, Sebagian tambak mulai terendam oleh air laut. Puncaknya pada 2000, berhektar-hektar luas tambak termakan oleh kikisan ombak pantai.

Akibatnya, warga kehilangan mata pencaharian. Setelah kehilangan mata pencaharian, warga kemudian memutuskan untuk menjadi TKI/TKW di negara-negara tetangga, yang tentu di sana juga tak luput dari adanya permasalahan baru.

Mustofa menyebutkan, setidaknya ada delapan desa yang terdampak pengikisan laut. Di antaranya Desa Limbangan, Tawangsari, Karangdempel, Prapag Kidul, Prapag Lor, Losari Lor, Losari Kidul, dan Pengabean.

Kedelapan desa tersebut kemudian bersepakat untuk meminta bantuan kepada Dompet Dhuafa guna membantu mencarikan solusi melalui jalur hukum. Yaitu melalui Pusat Bantuan Hukum (PBH) Dompet Dhuafa. Sebanyak enam aktivis mewakili delapan desa tersebut, datang ke Kantor PBH Dompet Dhuafa. Mereka adalah Mustofa Hawai dan Isnu Mulya Dikarya dari Desa Limbangan, Munadzir dari Desa Karangdempel, Nurul Huda dari Desa Prapag Lor, Nasrudin dari Prapag Kidul, dan satu perwakilan dari Ormas Mentas.

Sebagai tanggapan, Rama Adi Wibowo, selaku penanggung jawab Divisi Advokasi Dompet Dhuafa mengatakan, dari hasil peninjauan sementara, ada dua aspek dalam isu tersebut. Pertama aspek ekonomi berupa kehilangan sumber pencaharian yaitu sebagai petambak. Kedua adalah aspek lingkungan, bahwa faktanya proses abrasi itu terjadi akibat bendungan yang mengahalangi adanya sedimentasi alami di bibir-bibir pantai. Isu tersebut akan menjadi perhatian bagi Dompet Dhuafa, karena kasus tersebut berkaitan dengan ekonomi, kemiskinan, juga lingkungan.

“Namun isu ini akan kami kaji lebih dalam lagi, untuk menentukan langkah-langkah selanjutnya. Supaya nanti hasilnya dapat sebijak yang diharapkan,” tutup Rama. (Dompet Dhauafa/Muthohar)