Potret Porter Stasiun dan Parsel Ramadan (Bagian Satu)

JAKARTA — “Saya ‘tuh disini dari zaman rel satu lagi masih rumput, belum dibangun itu,” kenang Pak Sukiman (60) yang telah puluhan tahun menggeluti karir sebagai petugas Porter jasa angkut barang di sebuah stasiun kereta api.

Hiruk pikuk pelancong di stasiun, suara klakson dan roda-roda kereta api, merupakan potret keakraban bagi Pak Sukiman dengan keramahannya. Pasalnya, sejak lulus sekolah dasar, ia telah mencari nafkah di area tersebut. Mulai dari berdagang asongan, isi ulang gas korek api, jasa kebersihan, hingga kuli bangunan dan akhirnya, jasa Porter stasiun.

“Dulu sejak saya lulus SD di kampung, dari Kebumen, saya langsung pindah ke Jakarta, ikut paman. Karena bapak saya sudah meninggal sejak saya kelas tiga. Jadi sampai sekarang ibu yang sepuh juga tinggal sama saya, ngontrak di dekat stasiun bareng istri dan anak-anak saya. Alhamdulillah, anak yang pertama dan kedua sudah nikah, sudah ngontrak tempat lain,” lanjutnya.

Ya, kerut raut wajah serta rambutnya yang telah memutih, tidak menghalangi semangat Pak Sukiman untuk terus membantu penumpang kereta api, mengangkut barang bawaannya yang banyak dan berat, meski urat menonjol di lengannya kian terlihat. Ia lakoni setiap hari selama 12 jam/shift, yang terbagi dalam waktu pagi pukul 7.00-19.00 WIB dan malam 19.00-7.00 WIB.

“Kalau hari ini shift pagi, besoknya gantian jadwal malam. Liburnya bebas tergantung kemauan kita. Tapi saya jarang ambil libur, biar ada pemasukan, paling ya libur kalau ingin istirahat saja. Saya tetap yakin sama takdir Allah, rezeki ya ada saja,” sebut Pak Sukiman pada tim Dompet Dhuafa, ditemuinya Senin (12/4/2021).

Dari pengalamannya mencari nafkah selama 15 tahun di Stasiun Gambir dan 15 tahun di Stasiun Senen, barulah sejak pandemi Covid-19 melanda Indonesia, ia dan Porter lainnya mengalami hal yang berbeda. Pak Sukiman dan Porter lain disana, mengalami penurunan drastis pada pendapatannya bahkan sempat berhenti dari rutinitasnya itu.

Padahal, menurut Pak Sukiman, pendapatan utama sebagai Porter pun tidak menentu. Ia akui, “Mendapat Rp100,000 per-hari pun sekarang jarang, itu sudah bagus. Jika sampai Rp200,000 per-hari, itu lagi sangat beruntung,” candanya, “Kelebihan hari ini, itu jadi penutup kekurangan hari kemarin”.

“Ada Corona tahun kemarin, saya sempat berhenti lima bulan. Jarang kan orang bepergian. Sepi karena penumpang diharuskan tes rapid atau swab yang mungkin menambah biaya perjalanan. Dan banyak penumpang yang tidak mau dibantu bawakan barangnya karena khawatir jika tersentuh orang lain. Selama itu ya tidak ada pemasukan, kerja serabutan saja biar perut tetap makan,” aku Pak Sukiman. (Dompet Dhuafa / Dhika Prabowo)