Wakaf untuk Perubahan Iklim

JAKARTA — Tahun 2020 lalu, konferensi perubahan iklim seharusnya diselenggarakan di Glasgow, Inggri,s pada 9-19 November 2020. Namun karena pandemi Covid-19, konferensi ditiadakan dan akan diselenggarakan tahun 2021 ini.

Meski ditunda, aksi-aksi nyata untuk menurunkan emisi gas rumah kaca untuk pemanasan global tidak boleh berhenti. Umat manusia dituntut untuk berhasil mencapai target pengurangan emisi untuk mencegah bencana terkait iklim.

Diskursus mengenai perubahan iklim bukanlah hal yang baru bagi komunitas Muslim. Pada Agustus 2015, melalui perhelatan International Islamic Climate Change Symposium telah dilahirkan Islamic Declaration on Climate Change.

Deklarasi tersebut menyerukan penolakan atas keserakahan umat manusia akan sumberdaya alam, menghormati “keseimbangan sempurna” alam, dan berfokus pada kebutuhan untuk mengakui “kewajiban moral” terhadap konservasi.

Deklarasi ini memperkuat kedudukan Kesepakatan Paris 2015 tentang Perubahan Iklim yang menekankan tanggungjawab yang melekat pada semua orang untuk bersama-sama menekan pemanasan global pada tingkat maksimal 1.5 derajat celcius lebih tinggi dari masa pra industri pada 2030 yang akan datang.

Di antara berbagai cara yang bisa ditempuh umat Islam di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, untuk berkontribusi pada upaya tersebut adalah dengan mengoptimalkan potensi wakaf.

Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum sesuai syariah.

Wakaf bisa berperan menekan emisi gas rumah kaca melalui berbagai bentuk, baik wakaf dalam bentuk harta-benda tidak bergerak, harta benda bergerak, maupun wakaf uang, dan wakaf dalam bentuk uang.

Wujudnya pun bisa beragam, misalnya wakaf lahan untuk dihijaukan atau dihutankan kembali, baik untuk perluasan ruang terbuka hujau atau untuk memperbesar kemampuan menyerap karbondioksida.

Ada juga wakaf dalam bentuk penyediaan sumber-energi baru dan terbarukan, misalnya penyediaan lahan untuk pembangunan pembangkit listrik tenaga surya atau mikrohidro. Gagasan wakaf terkait pembangkit energi juga menarik, mengingat konsumsi energi saat ini masih didominasi oleh bahan-bahan fosil yang menjadi penyumbang terbesar emisi gas rumah kaca di atmosfer Bumi.

Proyek wakaf lain yang juga bisa digagas adalah wakaf uang dan wakaf dalam bentuk uang untuk mendukung investasi hijau (green investment), yakni investasi untuk yang ditujukan untuk membantu proses mitigasi perubahan iklim.

Selain itu, investasi untuk adaptasi perubahan iklim juga bisa dilakukan sebagai bentuk penyaluran surplus wakaf. Misalnya, menjadikan membiayai pelatihan-pelatihan bagi petani dan nelayan kecil dan tradisional untuk memiliki strategi adaptasi sehingga mampu meningkatkan ketahanan terhadap berbagai ancaman akibat perubahan iklim.

Dengan demikian, diskursus wakaf untuk perubahan iklim bisa diwujudkan dalam kenyataan. Wallahualam. (Dompet Dhuafa / Syamsul Ardiansyah)