Derita Hidup Serba Terbatas Pengungsi Rakhine

Catatan Tim Kemanusiaan Dompet Dhuafa untuk Myanmar

Jam menunjukkan pukul 09.10 saat kami tiba di kamp pengungsian muslim Dar Paing, Kota Sittwe, Negara Bagian Rakhine, Myanmar pada Sabtu (10/12). Pagi hari memang, tapi pancaran matahari bak pukul 12.00 siang waktu Jakarta. Terik nan menyilaukan mata.

Sejurus turun dari mobil, pandangan para pengungsi kamp Dar Paing tertuju ke kami. Pandangan pertama mereka tanpa ekspresi. Mereka tampak seolah menduga-duga, “Siapa gerangan orang-orang asing yang datang ini”. Lantas kami perlahan mendekat, berkomunikasi.

“Kami dari Indonesia. Kami datang untuk menyalurkan bantuan dari masyarakat Indonesia kepada kalian yang berada di sini,” kata Fadilah Rachman, Koordinator Tim Kemanusiaan Dompet Dhuafa untuk Myanmar.

Mendengar ucapan Fadil yang diterjemahkan Aung Soe Moe, staf Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Yangon asal Myanmar yang mendampingi kami, ekspresi para pengungsi sontak berubah. Senyum terukir dari wajah. Sorotan mata berbinar ceria. Sebagian mereka mengajak pengungsi lainnya untuk mendekat. Kami sontak dikerumuni para pengungsi terutama anak-anak. Aura kebahagiaan pun tampak.

Kami kemudian bertanya apa yang mereka butuhkan. Rupanya makanan pokok menjadi kebutuhan vital saat ini—bahkan mungkin seterusnya. Kebutuhan mereka pun menjadi prioritas bantuan yang kami salurkan.

“Kami sudah tinggal di sini dari 2012 sejak dimulainya krisis kemanusiaan Myanmar. Kami mengungsi dari daerah kami ke kamp ini,” ujar Tei Mo, salah seorang pengungsi di kamp Dar Paing.

Sejak krisis kemanusiaan Myanmar bergejolak tahun 2012 itu, hidup mereka menjadi sulit. Mereka hidup serba dalam keterbatasan. Sepanjang pemantauan kami, kondisi para pengungsi memprihatinkan. Mereka terisolasi dan tidak bisa berbuat banyak. Untuk hidup mereka mengandalkan bantuan dari lembaga kemanusiaan.

“Sekarang sudah ada bantuan dari Indonesia, kami ucapkan terima kasih banyak. Senang sekali. Bantuan yang diberikan sangat diperlukan oleh kami. Semoga tidak sampai di sini. Lain waktu datang lagi untuk kasih bantuan,” harap Tei Mo.

Ucapan terima kasih dan harapan Tei Mo sepintas sederhana. Namun bila diperhatikan seksama, pesan ia amat substansial. Ia berpesan soal kemanusiaan. Mengusik empati dan kepedulian kita. Garis wajah dan tatapan mata Tei Mo seolah menambahkan ucapan, “Kalian bisa lihat sendiri, bukan? Kami sangat kesulitan di sini.”

Tei Mo adalah satu dari sekitar 1.500 jiwa pengungsi di kamp Dar Paing, Sittwe. Mereka berasal dari daerah yang jauh dari Sittwe, namun masih dalam Negara Bagian Rakhine, Myanmar. Menurut informasi Aung Soe Moe, sebanyak 14 kamp pengungsi muslim Myanmar berada di Sittwe.

Kebersihan dan gizi yang memprihatinkan
Selain menyalurkan bantuan, kami juga melihat kondisi kamp secara menyeluruh. Kami berkeliling memperhatikan kondisi pengungsi dan lingkungan kamp. Pantauan ini selanjutnya menjadi bahan pertimbangan untuk tim berikutnya terkait program bantuan lanjutan yang bisa diberikan.

Meski mereka terlihat bisa hidup dengan tenang, mereka sejatinya hidup bersama ketidaknyamanan. Topografi kamp yang penuh debu ditambah cuaca Sittwe yang terik adalah kombinasi ketidaknyamanan hidup pengungsi. Sanitasi kamp yang jauh dari kata bersih dan minimnya pasokan air menyempurnakan ketidaknyamanan.

Konsekuensi atas kondisi tersebut sangat jelas tesaji di depan mata kami. Tubuh anak-anak pengungsi yang kurus menjadi pemandangan di kamp. Beberapa di antara mereka bahkan terlihat kekurangan gizi atau malnutrisi: perut buncit besar, namun seluruh badan amat kurus. Dari segi sandang, pakaian mereka usang. Sebagian besar mereka berjalan tanpa alas kaki.

Pemandangan serupa juga terlihat di Desa Aung Mingalar, wilayah distribusi bantuan kami lainnya di Sittwe. Desa Aung Mingalar bukanlah kamp pengungsian. Ia adalah sebuah desa di Sittwe yang dihuni komunitas muslim Myanmar. Namun sejak 2012, kehidupan mereka seolah berada di pengungsian. Di perbatasan desa, mereka dijaga aparat bersenjata.

Sebagian mereka takut untuk keluar dari desa. Krisis kemanusiaan yang berkecamuk masih menghadirkan trauma dan ketakutan. Sebagaimana pengungsi di Dar Paing, hidup warga Aung Mingalar yang berjumlah sekitar 2.000 jiwa ini tergantung bantuan dari lembaga kemanusiaan.

Melihat secara langsung di lapangan, kami bisa sampaikan selain makanan pokok, kebutuhan asupan makanan bergizi, pasokan air bersih, dan pendampingan kesehatan jelas bisa menjadi prioritas bantuan selanjutnya.

Misi kemanusiaan yang kami emban di Myanmar ini amat memberikan pelajaran yang luar biasa. Berdialog langsung dengan para pengungsi muslim di Sittwe mengentak dada kami. Menampar kami yang acapkali tidak bersyukur dalam hidup, sementara mereka hidup dalam ketidakpastian, kehimpitan, dan ketergantungan. Kampung halaman mereka entah bagaimana nasibnya. Mayoritas mereka kehilangan keluarga tercinta akibat krisis kemanusiaan yang bergejolak.

“Chezu tinbade (terima kasih), masyarakat Indonesia,” ujar Dil Muhammad, seorang kakek warga Desa Aung Mingalar kepada kami usai menerima bantuan amanah masyarakat Indonesia. Dil Muhammad begitu senang seakan didatangi keluarga jauh. Kami memang keluarga Anda, Kakek Dil Muhammad. Atas nama kemanusiaan, mereka keluarga kita. (Dompet Dhuafa/Yogi Achmad Fajar)