Peduli Nasib Pengungsi yang Ada Di Indonesia

JAKARTA – Dalam rangka memperingati Hari Kemanusiaan Sedunia (World Humanitarian Day) setiap 19 Agustus, Humanitarian Forum Indonesia (HFI), Dompet Dhuafa, UNOCHA, dan Kementerian Sosial Republik Indonesia menggelar Dialog Publik yang bertema “Keberpihakan Multi Sektor Kepada Prinsip-Prinsip dan Operasi Kemanusiaan,” Kamis (11/8), bertempat di Philantropy Building, Jakarta. Dialog publik yang dihadiri oleh para tokoh dari berbagai lini tersebut, sekaligus menjadi wadah untuk memperingati ulang tahun Humanitarian Forum Indonesia yang telah berjalan selama sewindu.

Dalam paparannya, Sabeth Abilawa, selaku pegiat kemanusiaan sekaligus General Manager Corporate Secretary Dompet Dhuafa, menuturkan bahwa dunia pada saat ini sedang menghadapi adanya gelombang pengungsi terbesar sepanjang sejarah, setelah perang dunia ke-2. Menurutnya, walaupun Indonesia bukan negara yang menjadi tujuan utama untuk pengungsian, namun tidak dapat dimungkiri bahwa terdapat beberapa pengungsi yang menjadikan Indonesia sebagai tujuan.

Dalam beberapa hal, Sabeth juga menjelaskan bahwa masih terdapat sejumlah kendala dalam penerimaan para pengungsi di Indonesia. Salah satunya adalah masalah dalam hal persepsi dan minimnya informasi yang diperoleh masyarakat. Hal ini dianggapnya sebagai sesuatu hal penting yang harus segera disosialisasikan kepada masyarakat.

“Biasanya yang ada di benak masyarakat Indonesia mengenai pegungsi adalah mereka menganggap pengungsi yang datang disebabkan oleh beberapa konflik yang terjadi di negaranya. Masyarakat di Indonesia juga terkadang menganggap mereka sebagai ilegal imigran yang menjadi sebuah ancaman bagi keamanan bangsa. Persepsi-persepsi ini lah yang harus kita luruskan dan dijelaskan kepada masyarakat,” ungkapnya.

Sabeth melanjutkan, fakta dilapangan menunjukkan bahwa umumnya para pengungsi ini hidupnya terlunta-lunta di negaranya. Untuk dapat bertahan hidup, mereka harus mengungsi. Beberapa fakta juga menunjukkan bahwa para pengungsi seperti rohingya sulit untuk dapat masuk ke wilayah Indonesia, karena adanya aturan-aturan pemerintah.

“Rohingya masuk ke Indonesia karena kebaikan-kebaikan nelayan Aceh. Kalau resmi dari negara cukup susah untuk masuk. Jadi mereka sangat tergantung hidupnya, dan apabila kehidupan sehari-harinya tidak di suplai, maka mereka tidak dapat melakukan apa-apa. Ada beberapa laporan yang diterima bahwa para pengungsi ini mengalami pelecehan oleh penduduk lokal, karena minimnya perlindungan yang dimiliki. Namun, kesalahan terbesar dari masyarakat kita yakni mereka menganggap bahwa mereka juga miskin, jadi ngapain bantu orang,” tambahnya.

Menurut Sabeth, dalam menghadapi bencana kemanusiaan seperti ini diperlukan tiga hal utama yakni, kebutuhan akan hukum untuk menjamin kehidupan mereka, meluruskan persepsi masyarakat tentang pengungsi untuk memudahkan penanganan pengungsi, dan advokasi ke beberapa instansi agar para pengungsi dapat melakukan kegiatannya sehari-hari seperti sekolah untuk anak-anak pengungsi. (Dompet Dhuafa/Ira)