Polemik Pendidikan Mitigasi Bencana: Dompet Dhuafa Ajak Semua Kalangan Rumuskan Model Pendidikan Mitigasi Bencana

JAKARTA — Belum lama ini, Pemerintah Indonesia mencanangkan akan menambahkan Pendidikan Mitigasi Bencana ke dalam kurikulum pendidikan. Hal tersebut dilakukan lantaran Indonesia sendiri termasuk daerah yang rawan bencana. Sepanjang 2018 saja, terhitung sebanyak 1.999 bencana terjadi di Indonesia. Mengakibatkan 3.548 orang meninggal dunia dan hilang, 13.112 orang luka-luka, dan 3,06 juta jiwa mengungsi.

Sejalan dengan itu, Dompet Dhuafa Pendidikan mengadakan diskusi tentang “Pendidikan di Wilayah Bencana: Upaya Mitigasi Sejak Dini.” Pada Jumat (22/2/2019) lalu, di Warunk Upnormal, Cikini, Jakarta Pusat. Turut mengundang Dr. Nugroho Dwi Hananto, M.Si, selaku Peneliti Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), H.Iskandar Leman, selaku Pakar Kebencanaan dari Masyarakat Penanggulangan Bencana Indonesia (MPBI), dan Arif Rahmadi Haryono, selaku General Manager Divisi Pendidikan Dompet Dhuafa.

Dibuka oleh Aidil Azhari Ritonga, selaku moderator dan juga Koordinator Center for Education Study and Advocay (CESA), Dompet Dhuafa. Menurutnya Indonesia dan Jepang tidaklah jauh berbeda sebagai wilayah yang rawan bencana alam. Namun sikap antisipasi wilayah bencana amat sangat jauh di antara keduanya.

“Baik Indonesia maupun Jepang tidak berbeda jauh soal daerah rawan bencana. Tapi sikap antisipasi yang ditunjukan baik dari masyarakat maupun pemerintah dari kedua negara berbeda. Harapannya dengan diadakannya diskusi, kita mampu mempunyai model untuk mengantisipasi kebencanaan ke depannya,” terang Aidil.

Lalu dilanjut oleh Dr. Nugroho Dwi Hananto,M.Si, membuka pemaparannya tentang Indonesia dari segi geologis. Secara geologis Indonesia memang termasuk ke dalam wilayah ring of fire dan wilayah dengan komposisi perairan jauh lebih besar ketimbang daratan. Ring of fire itu sendiri merujuk kepada sebuah wilayah dengan kondisi vulkanik yang paling aktif. Sehingga tidak jarang bencana-bencana seperti gempa bumi, gunung meletus hingga tsunami terjadi di sejumlah daerah di Indonesia. Namun dengan kondisi perairan di Indonesia, sehingga orang-orang hanya terpaku pada apa yang terjadi dengan dataran atau gunung yang di permukaan saja. Padahal di bawah laut juga ada permukaan tanah atau dataran dan juga gunung. Hal inilah yang jarang diketahui. Ketidaktahuan ini dapat terlihat ketika Tsunami Selat Sunda terjadi.

“Tsunami Selat Sunda itu adalah hal baru. Di mana tsunami yang terjadi tidak diakibatkan oleh gempa bumi. Tapi tsunami Selat Sunda dimungkinkan terjadi karena ada letusan kecil yang tidak besar, tapi meruntuhkan sebagaian badan gunung ke laut dan berujung pada tsunami. Peristiwa ini jarang diketahui. Jujur saja, ini juga hal baru bagi kami, selaku peneliti Oseanografi,” ujar Nugroho.

Melihat fakta bahwa kejadian Selat Sunda adalah hal baru, H. Iskandar Leman, juga mengakui urgensi untuk meningkatkan literasi tentang kebencanaan untuk masyarakat. Sekolah merupakan salah satu sarana yang tepat untuk hal tersebut. Namun demikian, ia juga mengakui tentang polemik-polemik yang mungkin terjadi jika upaya tersebut digerakkan.

“Jika ingin berbicara tentang pendidikan mitigasi harus jelas. Apakah pendidikan mitigasi yang diberikan itu memadai? Bagaimana bentuknya? Sekolah mana saja yang terjaring? Bisa jadi hanya sebagian saja yang terjaring, lalu sebagiannya tidak. Bentuknya juga hanya sampai pada taraf materi-materi penguatan karakter tapi minim praktik. Sebisa mungkin pembicaraan ini jangan sampai sekedar diskusi atau wacana panjang lebar saja. Melainkan harus diwujudkan dalam aksi yang jelas,” ucap Iskandar.

Sejalan dengan penjelasan Iskandar di atas, Arif Rahmadi Haryono, juga menambahkan bahwa kepedulian masyarakat itu sangat terlihat ketika sedang dalam tanggap bencana saja, tapi tidak ketika pada fase pemulihan. Menandakan adanya kekurangan pemahaman masyarakat dalam melihat dan menyikapi isu-isu bencana alam.

“Orang-orang itu biasanya ikut membantu baik melalui donasi atau tertarik menjadi relawan hanya pada tanggap darurat saja. Setelah itu intensitas kepeduliaan mereka perlahan-lahan berkurang hingga pada fase pemulihan atau rekonstruksi. Padahal baik pada tanggap darurat maupun fase pemulihan juga sama-sama penting. Maka insyaa Allah melalui sekolah binaan Dompet Dhuafa yang berjumlah 48 ini akan diterapkan model pendidikan mitigasi bencana milik kami. Sehingga hal-hal tadi, seperti sikap kepeduliaan masyarakat pada tanggap bencana saja tapi tidak setelahnya dapat diminimalisir,” tutup Arif. (Dompet Dhuafa/Fajar)