Jelajah Kurban: Menilik Tonda, Si Mungil Serba Guna Asal Kabupaten Sigi

Sigi – Perjalanan saya berlanjut menuju ke Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Tujuan saya ialah kelompok ibu-ibu korban liquifaksi, yang berdaya melalui kerajinan tangan lokal. Bingga namanya, atau tonda (dalam bahasa lokal Sigi), adalah sebuah tas kerajinan lokal Kabupaten Sigi. Wadah yang biasa dipakai untuk panen buah-buahan bagi petani lokal. Terbuat dari daun silar, tonda bisa bertahan satu tahun pemakaian.

“Ini mas Zul yang saya maksud tonda, ada yang ukuranya lebih besar,” tunjuk Citrawan, sambil menunjukan contoh bentuk asli tonda yang berjejer rapi di teras Rumtara warga.

Ketika gempa terjadi pada September tahun 2018 lalu, Kabupaten Sigi menjadi wilayah yang paling merasakan kerusakan. Liquifaksi yang menyusul gempa, membuat Sigi harus membangun peradabannya kembali dari nol. Salah satunya ialah Inur, warga Kecamatan Lolu, Kabupaten Sigi. Liquifakasi memaksanya kehilangan rumah dan harta benda. Kini, ia dan puluhan keluarga lainya bermukim di komplek Rumah Sementara (Rumtara) Desa Langaleso, Kecamatan Lolu, Kabupaten Sigi.

“Yah beginilah kita mas, jadi hunian baru kita saja,” terang Inur, sambil menjamu kehadiran kami di teras Rumtaranya.

Setiap hari, sela diantara Rumtara warga dipergunakan Inur dan ibu-ibu lainya untuk mengrajin tonda. Daun silar yang didapatkan dari hutan, dikumpulkan warga, untuk setelahnya dikeringkan. Ketika layu, maka daun pun siap disulap menjadi tonda. Dalam waktu satu pekan, kelompok pengrajin bisa menghasilkan 250-an Tonda. Memasuki momen Idhuladha ini, Inur dan kawan-kawan kebanjiran orderan. Berkah Idhuladha bagi Inur datang bukan dalam bentuk daging, melainkan rajutan daun silar. Sejenak, warga bahagia melupakan rumah mereka yang hilang ditelan liquifaksi.

“Sampai kami tidak bisa memenuhi pesanan. Bahan bakunya kami dapat dari hutan, makanya kami tidak bisa produksi banyak-banyak. Tapi Alhamdulillah, kemarin-kemarin, kita dapatkan order sebanyak 1.000 Tonda untuk wadah daging kurban,” terang Inur.

Salah satu yang mendukung pemberdayaan pengrajin tonda ialah Dompet Dhuafa, yang ikut menggunakan tonda sebagai wadah pendistribusian daging kurban di Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Pada momen Tebar Hewan Kurban (THK) tahun ini, Dompet Dhuafa mengkampanyekan pengurangan plastik untuk penyebaran daging kurban. Selain tidak baik untuk kesehatan, limbah plastik bisa mencemari lingkungan karena tidak bisa kembali diurai alam. Dibuat dari daun silar, limbah tonda juga tidak akan mencemari lingkungan. Wadah yang terbuat dari daun silar tidak berbahaya untuk kesehatan, karena bahan bakunya alami.

“Tonda ini, bisa bertahan hingga satu tahun mas. Kalau setelah dipakai untuk daging, bisa juga dipergunakan untuk yang lain, entah belanja di pasar, atau bisa sebagai tempat bumbu-bumbu dapur,” jelas Inur.

Di luar semua itu, penggunaan tonda dalam penyebaran daging kurban THK Dompet Dhuafa, juga bertujuan untuk memberdayakan pengrajin lokal. Seperti Inur dan ibu-ibu di komplek Rumtara Desa Langaleso, yang merupakan penyintas gempa dan liquifaksi yang terbantu ekonominya.

Selesai berbincang, kami kembali ke posko. Tidak dengan tangan kosong, pesanan kami berupa tonda dengan jumlah yang banyak pun kami bawa. Rencananya, ratusan paket kurban akan didistribusikan pada hari tasyrik pertama dengan tonda tersebut, pada Senin (12/8) pagi. Titik-titik Rumtara menjadi prioritas sebaran daging kurban pada THK di wilayah Palu. Sigi, Donggala (Pasigala) tahun ini. Diharapakan dengan adanya daging kurban, bisa memberi berkah bagi para penyintas gempa untuk segera bangkit. Sepertihalnya dengan Inur dan kolega, yang mulai menata hidupnya kembali melalui kerajinan tonda. (Dompet Dhuafa/Zulfana)