Potret Krisis Air Bersih di Pesisir Tawabi

Potret Krisis Air Bersih di Pesisir Tawabi

HALMAHERA SELATAN, MALUKU UTARA — Wanita 45 tahun di Desa Tawabi, Kecamatan Bacan Barat, Ibu Nur, dituntut untuk bisa sangat cermat mengatur pemakaian air sehari-hari. Terletak di suatu pulau kecil, masyarakat Desa Tawabi diselimuti krisis air bersih. Mereka sulit untuk mendapatkan air tawar, bahkan sejak sebelum negara Indonesia ada.

Belum ditemukan sumber yang begitu valid bagaimana nama Tawabi ini muncul. Namun dalam perkirakan penulis, karena daerah ini dulunya masuk dalam kawasan salah satu dari empat kesultanan gunung di Maluku, yaitu Kesultanan Bacan, maka kata Tawabi barang berasal dari Bahasa Arab. Antara itu, berarti orang-orang yang bertaubat atau berarti orang-orang pengikut.

Penulis bersama dua Insan Dompet Dhuafa lainnya beranjak melakukan penyeberangan laut dari Ternate menuju Pulau Bacan. Perjalanan ini memakan waktu sembilan jam, yaitu dari mulai pukul 22:00 hingga 07:00 WIT menggunakan kapal perintis. Selanjutnya, perjalanan berlanjut menggunakan speedboat dari Labuha, Bacan Barat, menuju Desa Tawabi dalam waktu satu jam.

Baca juga: Warga Muaragembong Kehilangan Sumber Air Bersih, Dompet Dhuafa Bangun Sumur Bor

Potret Krisis Air Bersih di Pesisir Tawabi
Potret warga Desa Tawabi membawa jeriken-jeriken di atas perahu untuk mendapatkan air tawar bersih.
Potret Krisis Air Bersih di Pesisir Tawabi
Potret warga Desa Tawabi hampir tiba di lokasi sumber air tawar bersih.

Di desa ini, masyarakat mendapatkan akses air bersih dari sumur-sumur galian di dekat bibir pantai. Mungkin juga bukan sumur, melainkan hanya berupa galian dengan kedalaman satu atau dua meter saja untuk mendapatkan air tawar. Terdapat enam galian pernah dimanfaatkan oleh masyarakat Tawabi. Kini, hanya tersisa dua yang masih bisa terpakai. Dua lagi sudah mati, sedang yang dua berikutnya masih berisi air, namun payau atau bahkan masih asin. Krisis air bersih pun tak terelakkan.

Kedua sumber air tawar yang masih aktif itu dimanfaatkan oleh sekitar 130 rumah. Ibu Nur salah satunya. Sumber air ini masih dalam satu pulau, namun untuk sampai di sana, warga memilih untuk menggunakan perahu karena lebih dekat. Jaraknya bisa beragam seberapa dekat/jauh letak rumah. Jika dirata-rata, mungkin kisaran 15 menit.

 

Potret Krisis Air Bersih di Pesisir Tawabi
Terlihat dari jauh, rumah-rumah di atas air, merupakan pemukiman warga Desa Tawabi.
Potret Krisis Air Bersih di Pesisir Tawabi
Potret antrean jeriken air.

Saat itu, Minggu (25/2/2024), dari rumahnya, Nur menuju sumber air menggunakan perahu ketinting. Sekiranya mungkin ini cukup untuk mengangkut dirinya berserta lima jeriken berukuran 20 liter. Hari itu ia berharap mendapatkan air lebih. Ia menambah lagi dua wadah air lain berupa ember berukuran serupa.

Baca juga: Wujudkan Semangat Santri Beribadah, Dompet Dhuafa Bangun Sumur Air Untuk Kehidupan

Sayangnya, hari itu bukan hari keberuntungannya. Sengaja ia datang sangat pagi, yaitu usai Subuh saat matahari pun belum mengintip, dengan harapan mendapat giliran pertama. Benar mendapat giliran awal, namun air belum keluar. Ia memilih untuk menunggu. Hingga matahari sudah naik 30 derajat, air pun tak kunjung mencuat.

“Ini tadi saya habis Subuh ke sini. Tapi karena air belum naik, saya pulang lagi. Siang saya ke sini lagi, hanya sedikit saja airnya,” jelas Nur.

 

Potret Krisis Air Bersih di Pesisir Tawabi
Seorang warga tengah menunggu di salah satu sumber air yang dibangun pada tahun 2009.
Potret Krisis Air Bersih di Pesisir Tawabi
Sumber air bersih yang sudah tak dipakai. Bangunan ini ada sejak tahun 2007 silam.

Siang hari, saat matahari tergelincir 20 derajat ke barat dari atas kepala, Nur baru mendapatkan empat jeriken air. Ada dua ember air juga sebenarnya, namun ia gunakan untuk mencuci baju di tempat. Kiranya ini lumayan untuk menghemat air yang nanti dibawanya. Menurutnya, lima jeriken air yang diambilnya itu biasanya bisa digunakan selama tiga hari. Jadi dalam sepekan, dua atau tiga kali ia datang mengambil air.

“Yang ambil air hampir ada di sini setiap hari. Sendiri. Kadang ditemani cucu. Kalau di rumah lagi tak ada air, ke sini ambil air. Mungkin dua atau tiga hari sekali ambil air,” ucapnya.

Atau bisa lebih hari. Kondisi ini terjadi jika hujan turun. Di rumahnya, ia pasang penadah air hujan. Karenanya, ia tak perlu terlalu sering ambil air.

Potret Krisis Air Bersih di Pesisir Tawabi
Anak-anak Tawabi (dari kiri: Amad, Adnan, Alan, dan Guntur) ikut membantu mengisi air.
Potret Krisis Air Bersih di Pesisir Tawabi
Krisis air bersih, Ibu Nur mencuci pakaian di depan salah satu sumber air.

Baca juga: Berkat Donatur, Dompet Dhuafa Hadirkan Sumur Wakaf di Maluku, Penduduk Buano Tak Lagi Minum Air Payau

Bersamaan dengan itu, kami bertemu dengan warga lain, Pak Oge. Menurutnya, ada titik sumber air lain yang memungkinkan warga Tawabi untuk mengambil air tawar bersih. Namun lokasinya lebih jauh, yaitu terletak di Pulau Kasiruta. Untuk sampai di sana, masyarakat harus menempuh penyeberangan selama satu hingga dua jam.

“Kadang kalau di sini kering, ya harus ambil di sana,” ucapnya.

Warga yang datang mengambil air pun belum tentu bisa dapat air bersih karena terkadang sumber mata air menjadi payau ketika air laut pasang. Kondisi desa yang belum sepenuhnya mendapat aliran listrik juga menambah kendala. Mereka hanya bergantung pada genset yang dimiliki hanya oleh beberapa rumah. Lokasi serta kondisi ini menjadikan Desa Tawabi termasuk dalam salah satu daerah 3T (tertinggal, terluar, terdepan).

Krisis air bersih di Desa Tawabi sudah berlangsung sangat lama, bahkan sejak Indonesia belum merdeka. Adanya galian air itu pun baru mulai ada pada tahun 2007. Mirisnya lagi, untuk mendapatkan air layak konsumsi, warga harus merogoh kocek lebih dalam, karena harus membeli satu galon air seharga Rp15 ribu.

Potret Krisis Air Bersih di Pesisir Tawabi
Potret warga mengangkut jeriken-jeriken air.
Potret Krisis Air Bersih di Pesisir Tawabi
Potret krisis air bersih yang dialami warga Desa Tawabi.

Baca juga: Dompet Dhuafa Hadirkan Wakaf Sumur di Maluku, La Ode: Ini Adalah Karunia Terindah!

Program Air Untuk Kehidupan berupa wakaf sumur bor tentunya akan sangat berguna bagi masyarakat Desa Tawabi. Sebanyak 520 jiwa akan dapat lebih mudah mendapatkan air tawar bersih. Ini yang sebenarnya sudah sejak lama diidam-idamkan oleh masyarakat.

“Kita butuh sekali air di sini,” tegas Pak Oge lagi.

Tentu bukan hanya pengeboran sumur saja. Seperti beberapa sumur yang sudah digulirkan pada program ini, Dompet Dhuafa juga akan membangunkan penampungan air ke atas gunung atau bukit, kemudian mengalirkannya ke pemukiman warga dengan pipanisasi.

Sahabat Baik, yuk ikut bantu saudara-saudara kita di pelosok-pelosok untuk bisa mendapatkan akses air bersih yang layak digunakan untuk sehari-hari dengan berwakaf melalui digital.dompetdhuafa.org/wakaf/wakafsumur. Dengan wakaf, tentunya program ini harus diupayakan mampu bertahan, berkelanjutan, bahkan berkembang pada program-program turunannya. Dengan adanya air bersih pula akan memicu peningkatan terhadap kesehatan, peribadatan, ekonomi, hingga pendidikan. (Dompet Dhuafa)

Teks dan Foto: Riza Muthohar
Penyunting: Dhika Prabowo