Ade Rukmana, Mantan Pecandu Narkoba yang Memperjuangkan Pertanian

JAKARTA — “Ini tanah airmu. Di sini kita bukan turis.” Merupakan salah satu penggalan kecil dari sajak seorang kawan yang hingga kini belum tahu menahu di mana keberadaannya. Bahkan bertemu pun belum pernah dengan dia. Namun jika kita mau mencari kabar tentangnya cukup mudah di dunia maya, dari mulai pemberitannya hingga karya-karyanya. Siapa sangka, ketika bertemu dengan salah seorang kawan lainnya bernama Ade Rukmana, seorang petani penerima manfaat Dompet Dhuafa ketika ditemui pada konferensi pers “Tebar Berkah Ramadhan: Jangan Takut Berzakat” di Penang Bistro, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (24/4/2019). Ia mengungkapkan semangat serupa dengan penulis penggalan sajak di atas. Walaupun mereka berdua sangatlah berbeda.

“Dulunya saya pecandu selama 14 tahun. Masuk dua kali panti rehabilitasi dari 2005 sampai 2007 di Rumah Cemara, Bandung. Setelah selesai dari masa rehabilitasi, saya sempat kembali lagi Rumah Cemara Bandung. Namun alhamdulillah bukan sebagai pecandu tapi sebagai orang yang membantu (merehabilitasi) kawan-kawan di sana selama 8 tahun,” ujar Ade, sambil mengusap air mata.

Setelah terbebas dari jeratan narkoba. Ia kembali ke tempat kelahirannya di Kampung Cijerokaso Wetan, Desa Cibodas, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat. Namun bukan keceriaan yang muncul, justru kekecawaan dan kekhawatiran yang dalam. Bagaimana tidak. Daerah yang masih terbilang asri, lengkap dengan perairan yang mengisi di lahan persawahan. Justru berganti menjadi wisata, villa dan lahan produksi lainnya.

“Selain kendala modal dan pemasaran. Ada kendala lain yang sangat krusial, yakni lahan produksi. Banyak lahan produksi yang telah beralih fungsi. Bahkan tidak jarang yang menjual lahan pertaniannya. Akhirnya mereka menjadi budak bagi orang lain. Makanya dengan konsep Desa Tani: Berdaya di Tanah Sendiri (kolaborasi Dompet Dhuafa Jawa Barat dan Tani Macakal) ini harapannya, para petani dapat menjadi tuan di tanah sendiri,” lanjut Ade.

Sejauh ini sudah 12 orang yang tergabung atau terdampingi dalam program Desa Tani dari Dompet Dhuafa. Namun ia juga menuturkan jika dihitung keseluruhannya ada 180 mitra petani yang terlibat dalam program-program pertanian yang dibuat, seperti pola tanam baby buncis, bayam, brokoli, tomat dll. Benih-benih tanaman dapat diambil melalui Desa Tani. Lalu setelah panen, mereka menjual atau mengarahkan ke Ade untuk pemasaran dengan harga yang lebih layak.

Siapapun dapat terlibat dalam program dan bersama-sama memajukan pertanian. Karena bagaimanapun juga Indonesia memang merupakan negara agragris.

“Saya sering mengajak kawan-kawan sekitar atau di mana pun yang suka mabuk, nongkrong di jalan dan maen gitar untuk nongkrong di tempat saya. Saya juga tidak melarang mereka untuk tidak mabuk dll. Paling hanya sekedar mengingatkan. Tapi dengan cara itu perlahan-lahan, alhamdulillah mereka mulai berhenti. Jika biasanya mereka mabuk-mabukan atau ngegele setiap hari, maka perlahan menjadi seminggu sekali. Lalu sebulan sekali. Bahkan benar-benar sampai berhenti total. Saya juga bercita-cita punya rumah singgah untuk kawan-kawan anak jalanan, baik di desa maupun di kota. Kemudian saya kasih materi pelatihan tentang pertanian. Keyakinan saya kalau Indonesia bisa maju dengan pertanian. Karena Indonesia memang negara agraris,” ungkap Ade.

Tapi beliau menyayangkan hingga saat ini, masih banyak orang yang menganggap remeh pertanian dan juga para petaninya. Banyak yang tidak melihat prospek dari dunia pertanian dan menstigmakan kalau petani itu kurang terpelajar. Padahal kalau digencarkan secara baik. Mampu mendorong kesejahteraan masyarakat.

“Generasi mudanya nggak ada. Malah pada gengsi. Bahkan masih banyak petani yang dianggap tidak berpendidikan, bodoh, jorok. Intinya suram deh jadi petani. Makanya sekarang Saya dan kawan petani lainnya sedang kampanye melawan stigma buruk tentang petani. Salah satunya melalui peraturan untuk ikut terlibat dalam program Berdaya di Tanah Sendiri, 70% yang ikut harus umurnya berada di bawah 35 tahun. Sehingga para pemuda bisa bangga, eksis, dan tidak malu menjadi petani. Insyaa Allah dengan Dompet Dhuafa akan dibangun Desa Tani Ke-2,” tutup Ade, sambil melemparkan senyuman semangatnya.

Kalau dipikir-pikir sudah berapa lama anak-anak tidak bercita-cita menjadi petani? Mungkin di waktu tulisan dibuat. Anak-anak masih sedang sibuk menyebutkan cita-citanya, tapi tidak untuk menjadi petani. (Dompet Dhuafa/Fajar)