LOMBOK BARAT, NUSA TENGGARA BARAT — (02/09/2022) Dalam bulletin “Analisis Hujan Agustus 2021 dan Prakiraan Hujan Oktober, November, dan Desember 2021” yang disusun oleh Badan Metereologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), wilayah seperti NTB termasuk dalam wilayah yang akan mengalami curah hujan kurang dari 200 mm/bulan.
Artinya curah hujannya dalam kategori menengah ke bawah, satu milimeter hujan berarti air hujan yang turun di wilayah seluas satu meter persegi akan memiliki ketinggian satu milimeter jika air hujan tidak meresap, mengalir, atau menguap.
Saat ini ketersediaan air sudah tergolong langka hingga kritis di sebagian besar wilayah Pulau Jawa dan Bali. Diperkirakan luas wilayah kritis air meningkat dari 6 persen (2000) menjadi 9,6 persen (2045), yang mencakup wilayah Sumatera bagian selatan, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi bagian selatan.
Kemudian dalam Climate Early Warning System milik BMKG mencatat wilayah Indonesia bagian Timur akan mengalami curah hujan yang tidak menentu. Sekaligus memberikan peringatan akan kekeringan meteorologis di Indonesia wilayah Timur, termasuk juga Nusa Tenggara Barat (NTB).
Desa Gili Gede Indah
Secara iklim Gili Gede memiliki curah hujan ± 2000 mm/tahun namun air bersih bagi masyarakat Desa Gili Gede masih menjadi masalah utama, bagaimana tidak sumber air seperti sumur galian memang tersedia namun sumber air ini tidak bisa dimanfaatkan oleh masyarakat untuk kebutuhan sehari-hari (Air Minum dan Memasak) karena sumber air ini payau.
Saat ini sebanyak 469 KK/1424 jiwa tinggal dan menetap di Desa Gili Gede Indah yang merupakan daerah kepulauan yang terdiri dari dataran dan pegunungan. Dengan mayoritas penduduknya berprofesi sebagai nelayan, petani dan peternak (245 orang).
Pulau Gili Gede Indah sendiri termasuk wilayah yang diminati wisatawan, karena menyediakan fasilitas penunjang bagi wisatawan yang paling lengkap. Di sini sudah tersedia penginapan, warung makan, musala, toilet, penyewaan perahu, penyewaan alat snorkeling dan diving serta wahana air lainnya.
Namun naasnya, ada satu masalah besar di Gili Gede Indah, yakni sumber air bersih. Meski ada 240 penampung air hujan dan sumur gali. Semua sumur tersebut tidak layak konsumsi, karena airnya mengandung garam yang tinggi atau dalam kondisi payau.
Satu-satunya dusun di Gili Gede Indah hanya di Dusun Tanjungan saja yang memiliki sumber air bersih. Sedangkan Dusun Gedang Siang, Dusun Labuan Cenik, Dusun Gili Gede, dan Dusun Orong Bukal mengandalkan ai bersih yang dijual keliling atau harus menyebrang pulau ke Dusun Tembowong.
Rincian kebutuhan dan harga air yang biasa dibeli mencapai Rp150.000 – Rp300.000. Dalam seminggu biasanya 3 (tiga) sampai 4 (empat) gallon air, yang digunakan untuk minum dan memasak. Air gallon isi ulang biasanya ditakar dengan harga Rp11.000-Rp15.000 sedangkan air pabrik mencapai Rp21.000-Rp25.000. Sedangkan untuk kebutuhan mandi dan cuci warga masih menggunakan air sumur yang payau.
Namun, jika mempertimbangkan jumlah rumah tangga yang termasuk dalam kategori kurang mampu ada 198 rumah tangga. Maka sebanyak 42 persen warga Desa Gili Gede Indah dalam keadaan ekonomi yang rendah. Menambah kesulitan tersendiri ketika ingin membeli pasokan air bersih.
Adalah Mulianah Mulia (70), salah seorang warga Labuhan Cenik mengaku semenjak ia tinggal di sana, belum ada sumber air bersih. Sekalipun ada, air payau yang keluar. Sehingga air ini ia gunakan untuk mencuci. Tidak untuk minum. Namun sesekali air payau suka digunakan oleh Nek Mulia untuk memasak.
“Air gallon untuk minum. Sedangkan air yang tadi (payau) digunakan untuk masak dan mencuci,” jelasnya.
Sehari Nek Mulia harus mengambil air payau itu sebanyak 12 kali. Karena belum memiliki pasukan sumber air bersih mandiri. Kadang juga Nek Mulia mengharapkan air hujan yang turun menggunakan pipa penampungan yang sudah kering entah berapa lama.
“Pagi ambil 8 (delapan) air. Kemudian sore ambil 4 (empat) air untuk keperluan sholat magrib dan isya,” pungkasnya.
Sehari-hari Nek Mulia mencari nafkah dengan menjual jambu mete. Setiap 200 jambu mete yang dipetik itu setara 1 (satu) kilogram. Dan setiap 1 kilogram jambu mete itu dihargai Rp15.000. Jika satu hari dalam sebulan, Nek Mulia hanya menjual satu kilogram, maka dalam sebulan Nek Mulia hanya memperoleh Rp450.000. Sedangkan keperluan untuk membeli air sebesar Rp150.000, maka Nek Mulia hanya mengantongi uang untuk kebutuhan lainnya sebesar Rp300.000
Desa Sekotong Timur
Lain hal dengan Desa Gili Gede Indah, lain hal pula dengan Dusun Bun Beleng. Sebagai dusun dengan jumlah jiwa terbanyak ke-lima dalam Desa Sekotong Timur. Hanya dusun ini saja yang tidak memiliki sumur bor dan mata air. Meski total satu-satunya dusun yang memiliki penampung hujan, tetapi mereka tetap kesulitan mengakses sumber air bersih. Lantaran sumur gali di wilayah sudah menunjukan pasokan air yang mulai mengering.
Terlihat dalam dua titik sumur, ember-ember mulai bertebaran di mana-mana. Diketahui ember-ember tersebut merupakan milik pribadi masing-masing warga. Seperti halnya sedang mengantri sembako, mereka justru mengantri sumber air bersih.
Bahkan tidak jarang kadang seorang harus mengantri sampai satu hari untuk bisa mendapatkan air. Karena memang aliran air di sumur sudah mulai tidak ada, atau mengalir secara pelan-pelan.
“Kadang harus menunggu satu hari baru bisa dapat air,” pungkas seorang ibu yang hendak mengantri air.
Tidak hanya ibu-ibu. Anak-anak senantiasa datang pergi untuk mengantri air bersih dengan menaruh ember dekat sumur-sumur tersebut. Ketika orang tua bekerja, anak-anak mereka yang bertugas mengambil air selepas selesai sekolah.
“Kadang menunggu sampai dua jam untuk bisa dapat air. Kadang besoknya baru dapat,” jelas salah seorang anak kecil.
Diusia mereka yang seharusnya fokus menimba ilmu, namun karena keadaan. Mereka juga turut membantu keluarga dengan mengambil air untuk kebutuhan keluarga. “Aku ambil air (mengantri) biasanya dari pagi sampai jam 7. Karena jam 7 aku pergi ke sekolah,”sambungnya.
Dengan jumlah warga mencapai 132 KK/ 408 jiwa. Sebanyak 132 KK pula yang belum memiliki sumber air bersih. TIdak berbeda jauh, ketika sudah terdesak, mau tidak mau mereka membeli air bersih keliling yang setiap seminggu datang ke dusun mereka.
Namun untuk bisa sampai dusun ini membutuhkan waktu yang lama dengan jalan yang mendaki tajam. Karena wilayah mereka memang dikeliling perbukitan tinggi. Dari jalan raya sendiri, membutuhkan waktu 30-40 menit untuk sampai ke Dusun Bun Beleng. Sehingga membutuhkan kendaraan khusus untuk bisa sampai.
Harga air juga tidak berbeda jauh dengan yang dijual di Gili Gede, sebesar Rp11.000-Rp15.000 sedangkan air pabrik mencapai Rp21.000-Rp25.000.
Sampai tahun 2018, akses air minum layak di Indonesia sudah mencapai 87,75 persen dan sanitasi layak sebesar 74,6 persen. Kemudian sebanyak 20,14 persen rumah tanggah memiliki akses air minum perpipaan di Indonesia. Namun, hanya 6,8 persen penduduk yang sudah menikmati akses aman. Masih ada gap 80,95 persen penduduk di tahun 2018 yang masih perlu ditingkatkan aksesnya dari akses layak menjadi akses aman.
Sesuai dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) akses air minum untuk masyarakat harus memenuhi kriteria sebagai air minum aman, yaitu berasal dari sumber air yang layak, berada di dalam atau di halaman rumah, dapat diakses setiap saat dibutuhkan, dan kualitasnya memenuhi standar kesehatan.
Baca Juga: https://www.dompetdhuafa.org/kekeringan-berkepanjangan-di-pedalaman-gunung-kidul/
Disaster Management Center (DMC) Dompet Dhuafa, mengajak masyarakat untuk turut bantu saudara/i yang membutuhkan sumber air bersih di seluruh Indonesia. Tiga titik di antaranya, yakni Dusun Buwun Beleng, Desa Sekotong Timur, dan Dusun Gedang Siang serta Dusun Labuhan Cenik, di Desa Gili Gede Indah, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat.
Melihat kenyataan di atas, DMC Dompet Dhuafa bermaksud untuk mengajak dalam program Air untuk Kehidupan dengan menghadirkan sumber air bersih baru bagi wilayah Desa Gili Gede Indah dan Desa Sekotong Timur di Dusun Bun Beleng melalui tautan berikut https://donasi.dompetdhuafa.org/dmcairkehidupan/. Dengan Air untuk Kehidupan, DMC bermaksud membuat sumber mata air bersih baru atau pembuatan pipanisasi dari mata air terdekat. Kemudian dialirkan menuju tempat penampungan komunal warga setempat. Dengan demikian masyarakat akan terpenuhi hak akan sanitasi air yang bersih, dan mereka tidak harus khawatir apabila terjadi kekeringan ataupun tidak ada air hujan.
Saat ini Dompet Dhuafa melalui unit Divisi Kesehatan telah membuat program intervensi di bidang kesehatan yang bernama Kawasan Sehat di Desa Gili Gede Indah, Kecamatan Sekotong, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat. Kawasan Sehat sudah beroperasi mulai dari Oktober 2019.
Melalui Kawasan Sehat, Dompet Dhuafa akan berupaya untuk memberikan program peningkatan kesehatan ibu dan baduta, eliminasi stunting, pengelolaan pasien TBC, pengeloaan penyakit tidak menular, sanitasi yang baik, lingkungan hijau produktif, dan sehat mental spiritual.
“DMC Dompet Dhuafa akan mengoptimalisasi Komite Air atau penanggung jawab dalam pelestarian sumber air bersih di wilayah Gili Gede Indah. Serta penyediaan sarana akses air bersih melalui pembuatan sumur bor dan pipanisasi serta pembangunan sarana sanitasi MCK yang layak dan memadai,” terang Haryo Mojopahit selaku Chief Executive DMC Dompet Dhuafa. (Dompet Dhuafa / DMC)