“Aku Tak Punya Pilihan”

Suasana aktivitas di House of Learning Dompet Dhuafa USA. (Foto: Dokumentasi Dompet Dhuafa USA)

Program pendidikan Dompet Dhuafa USA, House of Learning, membina anak-anak pengungsi Rohingya. Berikut tulisan salah seorang dari mereka dan bagaimana House of Learning mengubah diri mereka.

***

Ini adalah kisah bagaimana aku sampai ke Amerika…

Saat aku buka mata di pagi itu, ibu memintaku  untuk bergegas mandi. “Memang kita mau kemana, Bu?” tanyaku. “Kita mau pergi ke Amerika! Cepatlah!” kata ibu.

“Amerika? What is America?” tanyaku pada ibu.

“Amerika itu adalah sebuah negara dan RUMAH BARU KITA,” jawab ibu sambil merapikan pakaian dan barang-barang yang akan kami bawa.

“But Mom…”

Disitu aku merasa sedih karena harus meninggalkan teman-temanku. Lalu aku bertanya pada ibu, “Bu, apakah kita akan kembali ke Myanmar suatu hari nanti?”

“Ya,” jawab ibu.

Oleh karena itu, aku langsung bergegas merapikan barang-barangku. Waktu kami pergi, aku merasa sangat sedih. Begitu pula teman-temanku. Namun, aku harus pergi.

“Aku tak punya pilihan,” kataku pada teman-teman.

***

Kami naik bus menuju Bandara Yangon. Tapi, kami harus mengunggu dua hingga tiga hari. Setelah itu, kami meninggalkan hotel dan naik pesawat terbang. Aku terkagum-kagum karena belum pernah melihat yang seperti ini. Lalu kami terbang. Untuk yang pertama kalinya.

Aku tak bisa tidur di pesawat. Makanannya juga berbeda dengan makanan yang biasa kami makan. Jadi, kami tak berselera makan banyak.

Kamar mandi di pesawat juga sangat berbeda dengan kamar mandi kami di rumah. Aku terpaksa menggunakan kamar mandi di pesawat, tapi tidak tahu bagaimana caranya… Bahkan aku tak tahu bagaimana cara mengunci pintunya saat di dalam. Aku cuma menutup pintunya dan menekan salah satu tombol setelah selesai. Lalu aku coba buka pintunya. Tapi, tidak bisa terbuka. Jadi, aku tarik dan tarik. Namun tetap tak bisa dibuka. Sampai seseorang mendengar bahwa ada yang terjebak di dalam kamar mandi. Ia datang dan membukakan pintu untukku. Saat itu aku malu sekali. It was so embarrassing…

Setelah beberapa jam, kami mendarat di Amerika. Saat itu larut malam dan kami harus menunggu di bandara selama beberapa jam sampai ada yang menjemput. Seorang caseworker datang dan menyapa dengan ramah, “Hello”. Tapi, aku tak mengerti karena saat itu aku tak bisa berbahasa Inggris. Yang kutahu hanya dua kata, Yes dan No. Meski aneh, aku coba menjalani hidup disini. Caseworker mengajari kami untuk mengenal lingkungan sekitar rumah baru kami dan bagaimana cara naik bus. Aku pun harus pergi ke sekolah.

Semua sangat berbeda, tapi aku tak punya pilihan. I had no choice…

***

Ini pendapatku tentang program House of Learning DD USA…

Saat paling menegangkan adalah ketika aku baru bergabung dengan kelas Sabtu. Waktu itu aku tak tahu apa-apa dan sangat nervous untuk bicara. Namun, saat yang paling senang adalah waktu aku tahu dan bisa membaca sesuatu sementara teman-temanku tak ada yang tahu. Aku pikir program ini sangat bagus karena aku belajar banyak. Dari mulai tak tahu hingga jadi yang paling tahu di kelas.