Nur Ahmadi saat wisuda program S2 di Tokyo Institute of Technology. (Foto: Istimewa)
Oleh: Nur Ahmadi, Penerima Beastudi Etos Dompet Dhuafa 2006-2009
Dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan pedesaan adalah salah satu anugerah terindah bagiku. Di sana, seperti anak-anak pada masanya, melewati hari-hari dengan penuh warna. Tidak ada gurat kesedihan yang nampak, hidup nyaman layaknya tanpa beban. Memang terkadang ada juga tangis, tapi hanya sesaat, sesaat kemudian tersimpul lah senyum dan tawa bahagia.
Hampir sebagian besar waktu kecil kuhabiskan dengan bermain. Segala jenis permainan. Bermain bola di sawah kering beralaskan kemuning jerami; berburu burung bersenjatakan ketapel di hutan seberang; adu renang sembari kejar-kejaran di sungai yang melintasi kampung; petak umpet ba’da maghrib setelah ngaji ke pak kiai di pondok; dan masih banyak jenis permainan yang sekarang sudah jarang ditemui. Begitu indah rasanya mengenang masa lalu, saat-saat yang menyenangkan…
***
Semua kebebasan itu tidak lah berlangsung lama. Saat aku menginjak kelas 3 SD, ayah terkena penyakit, yang sampai sekarang pun aku tidak tahu namanya. Kondisi yang memaksa kakak, aku, dan kedua adikku untuk sedikit dewasa lebih cepat. Tidak bebas bermain seperti sebelumnya. Sepulang sekolah membantu merawat ayah, mencari kayu untuk bahan bakar memasak, atau membantu ibu di sawah. Jika semua tugas sudah selesai, aku pun kadang bermain di dekat rumah, agar lebih mudah jika ayah memanggil.
Hari demi hari pun berlalu. Kesehatan ayah sempat membaik untuk beberapa lama, tapi kemudian memburuk lagi. Dua tahun sudah ayah sakit, dan saat itu memasuki bulan Ramadhan. Praktis ayah tidak bisa berpuasa sama sekali. Meski begitu, saat sahur dan berbuka, kami masih bisa makan bersama sembari bercengkerama. Dan sebulan kemudian, hari kemenangan pun datang. Hari lebaran, hari nan penuh keceriaan. Saat sanak kerabat, jauh ataupun dekat, bisa bertemu saling melepas rindu, memohon maaf atas segala khilaf.
Hari lebaran saat itu merupakan hari yang tidak akan pernah terlupakan olehku. Hari dimana semua keceriaan bertemu pada satu titik. Hari yang menenangkan, di saat beban kesalahan terhapuskan. Namun, pada hari itu pula, terakhir kalinya aku melihat senyum ayah. Hari terakhir kami bisa berkumpul secara lengkap. Ayah dipanggil oleh Sang Pemilik malam harinya. Kebahagiaan tiba-tiba menghilang, tertutupi oleh selimut kesedihan. Sejak hari itu, jalan panjang perjuangan telah dimulai. Hari yang kemudian menggoreskan sketsa mimpi dan janji untuk masa depan, untuk hari esok yang lebih cerah.
***
Sepeninggal ayah aku semakin rajin belajar. Aku ingin mewujudkan pesan yang selalu ayah ulang, “Nak, jadilah orang pintar. Jangan seperti ayahmu yang hanya lulusan SD. Kamu harus jauh lebih baik dari ayah.” Sejak saat itu, aku selalu memuncaki peringkat kelas, menyalip teman perempuan sekaligus primadona kelas yang sedari kelas 1 SD selalu juara.
Lulus SD dengan Nilai Ebtanas Murni (NEM) tertinggi, tidak lantas memudahkan langkahku melanjutkan ke jenjang SMP. Tiadanya biaya menjadi alasan utama. Ibu, tidak berkata apa-apa. Aku yakin dalam hatinya, ingin sekali menyekolahkanku setinggi mungkin. Begitu juga denganku, aku tidak berani menuntut Ibu, karena memang kondisinya tidak memungkinkan. Aku hanya terus berdoa memohon jalan keluar.
Ibu, semenjak ayah meninggal, berperan sebagai kepala keluarga. Ia setiap hari dari pagi sampai sore bersepeda ke kota, bekerja di sebuah warung makan dekat dengan pabrik plastik. Beliau sudah cukup kewalahan menyekolahkan kakak, apalagi jika ditambah dengan membiayaiku juga. Untuk itulah aku dan juga Ibu tidak saling menanyakan perihal melanjutkan sekolah. Kami hanya berdoa dan berharap dalam diam.
Dan Allah sekali-kali tidak menyia-nyiakan hamba-Nya yang berdoa. Jalan keluar akhirnya datang dari arah yang tak disangka. Tiba-tiba pak kiai menawarkan bantuan untuk melanjutkan ke SMP negeri unggulan, dengan syarat aku harus membantu mengurus kegiatan dan kebersihan masjid. Alhamdulillah, aku bisa masuk di SMP tersebut. Dengan segala keterbatasan, tanpa buku penunjang, tanpa uang jajan, dengan bantuan sepeda tua warisan kakek, aku bisa melalui 3 tahun perjuangan. Bersyukur di tengah perjalanan, aku mendapatkan beasiswa dari pemerintah, yang sedikit banyak meringankan beban keluarga. Darinya aku bisa membeli sedikit buku persiapan ujian nasional.
Hasil ujian nasional pun diumumkan. Target juara 1 kelas dan masuk 10 besar sekolah tidak tercapai. Aku hanya bisa juara 2 kelas dan masuk 20 besar sekolah. Mungkin karena memang kurang persiapan dan juga karena kurang motivasi. Di saat yang lain sudah merencanakan SMA yang akan dimasukinya, aku tidak terbayang sama sekali. Bisa lulus SMP juga sudah merupakan karunia yang tak terkira.
Saat SMA relatif lebih nyaman dibanding waktu di SMP. Di sini aku lebih terbuka dalam bergaul. Lebih berani mengutarakan pendapat. Begitu banyak teman yang saling mengerti dan membantu. Mendekati kelas 3, aku semakin semangat belajar. Hasilnya aku bisa menjadi juara umum SMA. Hal yang semakin menambah kepercayaan diriku untuk memasuki dunia perkuliahan.
Alhamdulillah, selama di SMA aku selalu mendapatkan beasiswa. Dari sana aku bisa membeli buku-buku untuk persiapan Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Aku semakin yakin melangkahkan kaki ke jenjang perguruan tinggi. Tidak ada lagi yang perlu ditakutkan dari keterbatasan. Justru itulah tantangan yang harus aku taklukan.
Awalnya sempat tidak direstui Ibu untuk melanjutkan kuliah karena khawatir dengan biayanya yang mahal. Namun, dengan berbekal pengalaman-pengalaman sebelumnya, bahwa kemudahan-kemudahan pasti akan membersamai kesulitan. Bahwa pasti ada jalan di setiap kemauan. Allah pasti akan mengabulkan setiap doa yang dipanjatkan hamba-Nya. Tidak ada lagi yang perlu dikhawatirkan.
Dengan berbekal buku-buku pinjaman dari kakak kelas, dengan bantuan doa seorang Ibu, dengan perjuangan keras meski tanpa bimbingan belajar, akhirnya aku bisa diterima di Teknik Elektro Institut Teknologi Bandung (ITB). Aku mendapatkan beasiswa dari panitia pusat SPMB, yang mencakup biaya transportasi, tes masuk, SPP tahun pertama, serta biaya hidup selama 1 tahun.
***
Dunia kampus menawarkan berbagai kesempatan untuk berkembang menjadi apapun yang kita inginkan. Tidak heran jika tiap tahunnya ratusan ribu pendaftar berebut kursi di perguruan tinggi. Aku pun merasakan hal yang serupa. Wawasanku akan dunia luar menjadi luas, paradigmaku akan kesuksesan juga berkembang. Bumi ini tidak hanya Indonesia, masih banyak negeri-negeri lain dengan keunggulan masing-masing. Kenapa kita tidak mencari ilmu dan hikmah di bumi Allah yang lain? Kesuksesan tidak semata untuk diri sendiri, tapi ada tuntutan kontribusi untuk bumi pertiwi. Bahwa sebaik-baik manusia adalah yang memberi sebanyak-banyak manfaat untuk masyarakat. Sejak itu pun aku bertekad untuk berpetualang ke berbagai negeri, mencari benih ilmu dan hikmah untuk ditanamkan di tanah kelahiran.
Dengan kondisi keuangan yang sangat terbatas aku harus benar-benar berhemat. Beasiswa dari panitia pusat SPMB yang hanya 1 tahun tidak cukup untuk menanggung biaya hidup sehari-hari. Aku harus mencari jalan keluarnya. Akhirnya aku menemukan informasi di papan pengumuman kampus bahwa sedang dibuka pendaftaran beastudi Etos gelombang 2. Karena waktu yang sangat mepet, dengan cepat aku siapkan semua dokumennya. Aku masih ingat apa saja dokumen-dokumen yang dibutuhkan saat itu; Surat keterangan tidak mampu, Surat keterangan slip gaji/pendapatan, Fotokopi rapor SMA dari semester 1-6, Fotokopi STTB, KK, KTP/KTM, Foto Rumah (dari dalam dan depan), Foto 4×6 dua lembar, dan Membuat tulisan tentang perjalanan kisah hidup. Dan di hari terakhir pendaftaran aku berhasil mengumpulkannya. Alhamdulillah, sebulan kemudian aku dinyatakan diterima.
Beastudi Etos menawarkan berbagai program pembinaan di bidang agama, sosial, kemandirian, dan pengembangan diri. Selain itu, beastudi Etos juga memberikan uang saku dan fasilitas asrama selama 3 tahun. Dengan begitu potensi kami sebagai penerima beastudi Etos (disebut dengan Etoser) bisa benar-benar tergali, terutama tentang mimpi dan kepercayaan diri dalam menggapainya.
Untuk menambah penghasilan, aku bekerja sebagai pengajar di sebuah bimbingan belajar. Dari sana aku bisa membantu adik melanjutkan sekolah ke SMA. Untuk melatih kepemimpinan, aku mengikuti Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) di kampus. Dari sana aku belajar berinteraksi dan memahami berbagai karakter orang. Untuk menjaga iman dan meningkatkan ilmu agama, aku aktif di unit masjid Salman. Dari sana aku bisa memperbaiki bacaan AlQuran dan berbagi kebaikan. Sedangkan untuk melatih kepedulian, aku ikut mengajar ngaji dan mengajar mata pelajaran sekolah untuk anak-anak di sekitar asrama. Selalu ada kebahagiaan saat kita bisa berbagi dengan sesama.
Memasuki tingkat 3 kuliah, aku semakin serius mempersiapkan segalanya untuk bisa mencari ilmu ke luar negeri. Kelemahanku saat itu adalah bahasa Inggris. Untuk itu, aku giat mempelajarinya agar bahasa tidak menjadi kendala nantinya. Untuk meningkatkan kapasitas diri, aku mulai memberanikan diri menjadi asisten praktikum, asisten dosen, dan mengikuti berbagai kompetisi.
Alhamdulillah semua usahaku pada akhirnya berbuah manis. Aku diberi kesempatan menimba ilmu di Amerika, bisa diberi kesempatan menjuarai kompetisi karya ilmiah di Tokyo, bisa bekerja dengan perusahaan di Singapura, dll. Jika dirunut ke belakang, ternyata ini bukan karena kebetulan semata. Tapi karena aku pernah memimpikannya, yang kemudian secara sadar atau tidak sadar menggerakkan langkahku untuk menggapainya. Itulah kekuatan sebuah mimpi. Semakin yakin kita akan mimpi kita, semakin dekat mimpi itu dengan kenyataan.
Aku sangat suka membaca sejarah orang-orang yang berhasil. Darinya aku bisa belajar banyak hal. Darinya aku bisa mengambil inspirasi dan motivasi. Dan atas inspirasi dan motivasi itulah, akhirnya aku bisa melanjutkan studi di Tokyo. Aku melanjutkan studi S2 di Tokyo Institute of Technology dengan beasiswa penuh Manbukagakusho sejak 28 September 2011. Selepas menyelesaikan studi S2 di Jepang tahun 2012, aku pun kembali ke tanah air dengan aktivitas penelitian di kampus. Menjadi dosen dan peneliti menjadi hal yang aku cita-citakan saat kuliah SI. Awalnya, aku memang memiliki impian yang orang pada umumnya impikan: setelah lulus kuliah bekerja di perusahaan besar atau ternama. Namun, seiring dengan bertambahnya pengetahuan dan kultur keilmuan di lingkungan pergaulan mengubah paradigmaku soal proposal hidup. Menjadi dosen merupakan kesempatan bagiku untuk berkontribusi bagi bangsa terutama bidang pendidikan.
Begitulah sepotong perjalananku. Beberapa hal yang mungkin sama sekali tak terbayang sebelumnya.Yang dibutuhkan hanya mimpi beserta tekad kuat pantang menyerah demi menggapainya. Karena menyerah hanya akan menjadi hijab antara mimpi kita dan kenyataan.
***
Lukislah selaksa cita dan sejuta asa dalam kanvas masa depanmu. Bingkailah ia dengan doa yang khusyu’ dan tekad yang kuat. Niscaya suatu hari akan kau dapati lukisan indah itu benar-benar nyata di hadapan matamu.
Editor: gie