Budaya gotong royong rekat sekali dengan masyarakat Indonesia. Kebiasaan mengerjakan satu hal secara bersama-sama ini terpelihara dengan baik. Terbukti dengan masih banyaknya warga yang menjalankan rewang atau saling membantu dalam acara hajatan, termasuk di pesta pernikahan. Bahkan, bukan hanya menyumbang tenaga, masyarakat juga menyumbang materi lewat amplop yang diberikan sebagai kado pernikahan.
Namun, pemberian amplop kado pernikahan bagi kelompok masyarakat tertentu diartikan sebagai utang yang harus dibayarkan. Hal ini bahkan telah menjadi tradisi tak tertulis di beberapa wilayah di Indonesia. Lantas, bagaimana pandangan Islam mengenai praktik pemberian amplop untuk kado pernikahan ini? Apakah boleh dianggap sebagai utang atau seharusnya menjadi sedekah sebagai tanda kita ikut berbahagia?
Amplop untuk Kado Pernikahan
Kondangan atau menghadiri undangan resepsi pernikahan (walimatul ‘urs) dalam agama Islam hukumnya wajib. Sepanjang tidak ada halangan secara syariat, orang yang mendapat undangan untuk menghadiri walimatul ‘urs, wajib menghadirinya. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Nabi Muhammad Saw:
“Jika seorang dari kalian diundang ke walimah, maka hendaklah mendatanginya.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud)
Saat kondangan, biasanya seseorang akan membawa kado pernikahan dan kado yang paling umum diberikan adalah amplop berisi uang. Hal ini terbukti dari masih tersedianya kotak uang di setiap resepsi pernikahan. Namun, niat di balik pemberian amplop tersebut bisa bermacam-macam. Salah satunya si pemberi mengharapkan pengembalian saat ia mengadakan walimah di kemudian hari. Lantas, bolehkah kita membiasakan hal yang demikian?
Baca juga: Sedekah Menolak Bala dan Bencana dalam Kehidupan Manusia
Pendapat Ulama
Sebelum menghukumi budaya memberi amplop untuk kado pernikahan sebagai praktik pinjam-meminjam atau utang sosial adalah hal yang benar atau salah, kita perlu melihat beberapa hal terlebih dahulu. Mengutip pernyataan Dr Oni Sahroni, Lc, MA selaku Anggota Dewan Syariah Nasional MUI, ada empat hal yang harus kita ketahui sebelum menyatakan tradisi tersebut benar atau salah, antara lain:
Perjelas niat si pemberi amplop
Apakah saat ia menghadiri undangan dan memberikan amplop ia bermaksud untuk sedekah sebagai tanda bahwa ikut berbahagia dengan pernikahan tersebut? Atau maksudnya memberikan pinjaman yang kemudian menjadi utang bagi orang yang menikah sebagai bagian dari tradisi yang berlaku di masyarakat?
Pastikan tradisi yang berlaku di masyarakat
Beberapa desa di Indonesia menganut tradisi di mana orang yang menggelar hajatan dan mendapatkan kado pernikahan berupa amplop berisi uang, otomatis uang tersebut menjadi pinjaman atau utang yang harus dibayarkan oleh si penggelar hajatan pada saat si pemberi amplop menggelar hajatan di kemudian hari.
Sebaliknya, tradisi di perkotaan setiap orang yang hadir memenuhi undangan pernikahan memberikan sejumlah uang atau barang sebagai sedekah atau hibah, bukan utang piutang. Sehingga, pemberian tersebut tidak wajib untuk dikembalikan kepada si pemberi.
Walau tak terucap dan tak tertulis, tradisi ini bersifat mengikat. Sehingga, kita perlu memastikan apakah di lingkungan tersebut tradisi ini berlaku atau tidak. Hal ini bisa diterapkan sebagaimana kaidah fikih yang menegaskan, “Sesuatu yang sudah menjadi tradisi (‘urf) itu seperti disyaratkan”. Maksudnya, sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan dan tradisi di masyarakat menjadi syarat yang harus dipenuhi.
Adab menghadiri undangan walimah
Setiap muslim punya kewajiban memenuhi undangan, termasuk ikut bergembira atas pernikahan yang diselenggarakan oleh saudaranya. Ungkapan kebahagiaan itu pun bermacam-macam, salah satunya memberi amplop yang berisi sejumlah uang untuk kado pernikahan sebagai bantuan atau sejenisnya.
Pemberian amplop kepada orang yang menggelar hajatan itu pada prinsipnya adalah hadiah pemberian biasa, sedekah atau hibah, bukan utang piutang. Kecuali, jika ada tradisi sebaliknya, maka itu dicatat sebagai pinjaman. Karena pinjaman, maka harus dilunasi sesuai dengan pokok pinjaman tanpa disyaratkan kelebihan atau manfaat, karena berstatus sebagai pinjaman transaksi sosial.
Hal ini sebagaimana firman Allah Swt dalam surah Al-Baqarah ayat 282:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar.”
Pertimbangkan aspek hukumnya
Pertimbangkan aspek hukum di negara yang ditinggali sesuai dengan kedudukan orang yang menggelar hajatan. Misalnya, ketentuan gratifikasi dan sejenisnya. Apakah boleh menerima uang dalam jumlah tertentu? Sehingga, tidak dianggap sebagai utang yang harus dibayarkan di kemudian hari dalam bentuk lain. Hal ini perlu diperhatikan agar aspek syariah dan hukum bisa ditunaikan berjalan seiringan.
Baca juga: Benarkah Sedekah atau Infak dengan Uang Haram Dapat Mengugurkan Dosa Perbuatannya?
Hukum Memberi Kado Pernikahan
Terdapat perbedaan pendapat di antara para ulama tentang hukum memberi amplop untuk kado pernikahan. Sebagian ulama mengategorikan pemberian kado pernikahan sebagai utang yang harus dibayar. Sementara sebagian ulama yang lain mengategorikan pemberian kado pernikahan sebagai pemberian cuma-cuma.
Para ulama pun kemudian mencari titik temu dan menggabungkan dua pendapat itu dengan simpulan bahwa status pemberian kado pernikahan ini dihukumi sebagai pemberian cuma-cuma atau hibah, apabila kebiasaan yang berlaku di masyarakat tidak mensyaratkan pemberian itu untuk dikembalikan. Dengan kata lain, hukumnya bisa bermacam-macam sesuai dengan tradisi yang berlaku di masyarakat.
Pemberian distatuskan sebagai utang apabila memang di daerah tersebut ada tradisi untuk mengembalikan. Apabila terjadi praktik pemberian yang berbeda dengan kebiasaan, maka dikembalikan pada niat pihak yang memberikan.
Macam-macam Maksud Memberi Kado Pernikahan
Menurut Rasyid S dalam buku Fiqh Islam, ada empat maksud dan tujuan memberikan kado pernikahan berupa amplop berisi uang. Antara lain:
- Hibah, yaitu memberikan barang dengan ikhlas atau sukarela, tidak ada tukarannya dan tidak ada sebabnya.
- Sedekah, yaitu memberikan barang dengan tidak ada tukarannya karena mengharapkan pahala di akhirat.
- Hadiah, yaitu memberikan barang dengan ikhlas tidak mengharapkan imbalan serta dibawa ke tempat yang diberi karena hendak memuliakannya
- ‘Ariyah, yaitu pinjam-meminjam, memberikan manfaat sesuatu yang halal kepada yang lain untuk diambil manfaatnya dengan tidak merusakkan zatnya agar barang itu dapat dikembalikan.
Semoga pemaparan di atas dapat menjawab rasa penasaran Sahabat Dompet Dhuafa tentang hukum memberi amplop untuk kado pernikahan. Selain ikut bergembira pada saudara atau kerabat yang baru saja melaksanakan pernikahan, kita juga bisa membawa kebahagiaan untuk orang-orang yang membutuhkan. Termasuk anak-anak yatim dan kaum dhuafa. Kamu bisa menyalurkan sedekah terbaikmu melalui Dompet Dhuafa untuk membahagiakan mereka yang kurang beruntung. Semoga hal-hal yang kita kerjakan mendapat rida dari Allah Swt. Aamiin … (RQA)