PONOROGO, JAWA TIMUR — Setelah peristiwa tanah longsor menimpa Dusun Jrakah pada tahun 1995, sebanyak 106 warga hijrah ke Dusun Mbaglumbu dan menjadi penduduk disana sejak tahun 1998 hingga kini. Peristiwa tanah longsor tersebut mengakibatkan 5 orang meninggal dunia dan menimbulkan trauma akan terjadinya longsor susulan.
“Awalnya yang pindah kesini (Dusun Mbaglumbu) hanya 2 orang saja. Baru kemudian semua 32 KK (106 warga) menyusul hijrah kesini, ke tempat yang lebih tinggi. Tadinya disini hanya hutan belantara, pohon-pohon besar. Dusun ini tidak berpenghuni, di ujung, atas, tingginya pun hampir setara dengan Gunung Lawu,” ungkap Nurhadi (25), salah satu tokoh keagamaan muda Dusun Mbaglumbu.
Dusun Mbaglumbu berada di Desa Gajah, Kecamatan Sambit, Kabupaten Ponorogo. Jika ditempuh dari Kota Surabaya, membutuhkan waktu sekitar 4 jam dengan jarak sejauh 218 km. Sedangkan dari pusat Kabupaten Ponorogo, membutuhan waktu sekitar 1 jam dengan jarak 25 km. Namun, fakta di lapangan sedikit berbeda.
Setelah memasuki di Desa Gajah, Tim Dompet Dhuafa pada Kamis (10/3/2022), harus menempuh jalur terjal perbukitan, ditambah kondisi hujan gerimis membasahi jalan setapak bebatuan dan tanah merah yang licin menuju Dusun Mbaglumbu.
Mata pencaharian utama warga Mbaglumbu, mayoritas adalah mencari getah pinus, juga petani padi, kolang-kaling, jagung, dan singkong. Jika mencari kebutuhan sehari-hari, terdapat toko kecil di bawah bukit dan di pasar sekitar 20 km arah ke Trenggalek.
Nurhadi lanjut menjelaskan, “Tentu disini juga tidak ada listrik, jadi dulu cuma nyambung kabel kecil dari daerah Trenggalek terdekat. Listrik itu baru masuk, ada pembangunan tahun 2019. Sinyal juga tidak ada, cari sinyal harus ke bukit-bukit yang agak tinggi lagi”.
Pun, keadaan saat itu juga belum ada fasilitas ibadah seperti Musholla ataupun Masjid. Kemudian pada tahun 2003, barulah warga mulai berinisiatif gotong royong membangun Musholla yang terbuat dari anyaman bambu berukuran 5×5 meter2 saja.
“Saat itu belum ada Musholla, warga itu kalau solat berjamaah di rumah kami, termasuk jadi tempat anak-anak belajar mengaji. Lalu alhamdulillah, warga gotong royong bikin Musholla ukuran 5×5 m2 dari anyaman bambu, dan bapak saya, Pak Mismanto, diamanahkan sebagai Takmir Musholla disini. Namun, ya kalau solat jum’at tidak bisa, harus pindah ke daerah Bukit Gunung Gede, sekitar 2 kilometer ke Masjid terdekat dari sini,” aku Nurhadi.
Tapi, perjuangan masih terus dilakukan. Musholla yang diberi nama Baitulrohman itu, harus dipugar dari anyaman bambu menggunakan papan kayu. Sebab seiring waktu, genteng menjadi pecah dan bocor jika hujan turun.
“Kalau hujan, ya, aktifitas dilakukan di rumah masing-masing. Musholla kami ganti menggunakan papan kayu. Namun, lama-kelamaan jadi lapuk, air tetap masuk ketika hujan. Jika bulan Ramadhan, solat tarawih pun di rumah pak Mismanto,” lirih Nurhadi. (Dompet Dhuafa / Dhika Prabowo)