Asa Anak Miskin, Raih Pendidikan di Negeri Kincir Angin

Awalnya pemuda ini tak menyangka, mampu melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, hingga ke Negeri Kincir Angin. Meski latar belakang kehidupan keluarga yang masuk dalam kategori dhuafa, tak sedikitpun membuat Gelfi Mustarakh, alumni siswa SMART Ekselensia Indonesia (EI) Dompet Dhuafa ini, surut langkah dalam menggapai asa pendidikan sesuai yang diharapkannya selama ini.

Bermula dari SMART EI Dompet Dhuafa, Gelfi, demikian sapaan akrabnya sehari-hari ini bercerita, ia mulai menyerap secara perlahan ilmu-ilmu pengetahuan dari para tenaga pengajar di sekolah bebas biaya, berasrama, unggulan, akslelerasi, yang membina siswa tidak mampu dari seluruh pelosok Indonesia ini.

“Saya ‘didatangkan’ ke SMART Ekselensia Indonesia – Dompet Dhuafa pada saat masih sangat kecil, penuh perjuangan dengan segala jenis proses seleksi sebelumnya,” kenangnya.

Jauh dari orang tua menjadi hal baru bagi Gelfi. Sempat terfikirkan oleh Gelfi, untuk kembali ke rumah tercintanya yang berada di Pekanbaru, Riau. Proses keluar dari ‘belitan zona nyaman rumah’ barangkali memakan waktu sekitar 2 bulan. Puncak dari proses ini, ia pun sempat berpikir mundur dari sekolah. Nmaun, ia tidak memiliki banyak pilihan. Menurutnya, kembalinya ia ke rumah tak akan membawa keadaan lebih baik lagi.

“Akhirnya satu pilihan saya yang tersisa adalah menatap kedepan dengan segala kemungkinan yang ada, sembari memberikan effort terbaik di setiap proses pendidikan yang diberikan. “tidak ada pilihan lain, kecuali hadapi tantangan kedepan,” imbuhnya.

Selama bersekolah di SMART EI Dompet Dhuafa, Gelfi dikenal aktif dalam kegiatan sekolah. Ia sempat diamanahkan memimpin OASE (Organisasi Akademika Siswa SMART Ekselensia, mirip OSIS di sekolah lain) saat dimana harus menghadapi ujian nasional SMP. Aktivitasnya di sekolah yang begitu padat, sama sekali tak mengganggu proses belajarnya selama ini.

“Saya harus membuat ending yang baik untuk semua ini. Akhir 2008, kabinet OASE selesai dan alhamdulillah nilai UN saya termasuk salah satu yang terbaik saat itu,” ceritanya tersenyum.

Kemudian, pemuda kelahiran Gunung Sahilan (Riau), 13 Januari 1993 ini, melanjutkan pendidikan di Institut Teknologi Bandung (ITB) pada tahun 2010 setelah menjalani proses pendidikan 5 tahun lamanya di SMART EI Dompet Dhuafa. Hidup sebagai mahasiswa secara ekonomi tentu tidak se-safety waktu di asrama yang segala sesuatunya sudah tersedia. Ia menilai atmosfer kampus yang relatif lebih heterogen dibandingkan asrama, membuatnya kesulitan untuk beradaptasi dalam proses pembelajaran di ITB.

“Tapi hidup tidak punya banyak pilihan, saya harus menyelesaikan proses pendidikan ini dengan sebaik-baiknya, Mengambil hikmah sebanyak-banyaknya dan selalu bersyukur atas setiap keadaan yang ada,” tuturnya.

Di ITB, ia mengaku menemukan tujuan yang sejalan dengan cita-cita bangsa ini. Satu pilar utama Indonesia Emas 2045 baginya adalah peningkatan konektivitas maritim nasional, yaitu salah satu elemen utamanya pelabuhan. Maka kemudian ia mempelajari Teknik Kelautan dan belajar banyak tentang konstruksi pelabuhan.

Hal tersebutlah yang membuatnya memiliki motivasi besar untuk melanjutkan pendidikan di Hydraulic Engineering (TU Delft) adalah belajar mengenai konstruksi dan manajemen pelabuhan. Ia merasa perlu belajar cara Belanda mengelola Pelabuhan Rotterdam (Port of Rotterdam) sehingga menjadi salah satu pelabuhan terbesar di eropa, bahkan di dunia. (uyang)

 

 “22 tahun Dompet Dhuafa Tumbuh Bersama, mari bergandeng tangan wujudkan kemandirian”

 

 
 

Gelfi, sapaan akrabnya, tak menyangka jika semangatnya mampu membawa dia melanjutkan cita-citanya menembus pendidikan di…

Posted by Dompet Dhuafa on Tuesday, August 11, 2015