BOGOR — Mobil pick-up melaju kencang diantara gang-gang komplek perkantoran. Saat hampir tiba ditujuan, sopir menurunkan kendali lajunya secara perlahan. Mobil pick-up yang ditunggu oleh sekelompok anak muda sudah sampai di Gudang Kantor pembuatan kartu perdana cellular. Ketika pintu box dibuka, mereka bahu-membahu mengeluarkan barang dan sudah tak sabar untuk mulai mengerjakan proyek.
Begitulah aktivitas Firdaussilah (21), biasa dipanggil Daus, bersama kawan-kawannya. Dua tahun pasca lulus sekolah, Daus dan rekan-rekannya sudah biasa menerima order dari Perusahaan telekomunikasi asal Singapura tersebut. Per hari Daus diupah dengan besaran jasa Rp.100.000 selama tujuh hari. Itupun tak setiap bulan ia menerima pesanan, Daus dan rekan harus bersaing dengan pekerja lepas lain yang juga mengincar proyek serupa.
“Sebulan saya biasanya terima dua kali order dari perusahaan. Kalo nasib lagi bagus, bisa sebulan full gak putus. Tapi sekarang sudah jarang,” ujar bungsu lima bersaudara ini.
Daus bukannya tak memiliki pekerjaan lain yang bisa ia lamar. Tetapi ia mengaku bahwa terlanjur mencintai pekerjaan itu, dan berharap suatu saat bisa mengabdi di Perusahaan tersebut. Ia bercerita bahwa ia pernah melamar ke beberapa Perusahaan retail, tetapi nasib belum berpihak karena gagal dalam serangkaian tes yang panjang.
Jika sudah begitu, ia lantas tak putus asa dalam mencari penghidupan. Beberapa Pabrik tekstil dan berikat sekitar kampungnya di Kampung Cidokom, Gunung Sindur, Bogor, juga pernah coba ia jajaki. Namun hasilnya masih nihil.
“Kalo pekerjaan sekarang syaratnya harus banyak keluar kantor sama tahan ijazah asli. Motor sama ijazah saya gak punya, motor saja pinjam sama kakak,” ungkap Daus kepada Tim LPM.
Untuk masalah ijazah, Daus sudah berupaya agar dapat melunasi tunggakan sekolah. Jika mendapat order pengerjaan kartu perdana, setengah dari hasil yang ia dapat disisihkan untuk mengurangi tunggakan sekolah yang terbilang besar. Dalam perjuangannya mendapatkan ijazah, ia tak ingin merepotkan sang ibu, Saodah (68), yang sudah hidup sendiri sejak ditinggal wafat ayahnya sejak lima tahun lalu.
Ia pun juga tak pernah sekali-kali meminta bantuan keempat kakaknya, Daus menyadari bahwa mereka sudah memiliki keluarga dan beban kehidupan sendiri. Selain itu, ia juga tak mau menambah beban kakak yang sudah membantu kehidupan sehari-hari. Melihat kesulitan dan kendala yang dihadapi oleh Daus dalam mencari pekerjaan, sang guru ngaji, Muhidin (36), berinisiatif untuk meminta perantara Dompet Dhuafa dalam mengurangi beban hidup Daus. Sehingga kendala administrasi seperti ijazah tak lagi menjadi penghalangnya mencari pekerjaan.
“Sayang kalo sampai tidak dapat kerja. Anaknya rajin, kerja apa aja juga mau. Dia juga suka bantu saya ajarin anak kampung sini ngaji meski gak ada bayarannya,” ujar ustad Muhidin yang juga mitra Dompet Dhuafa di kawasan Cidokom.
Dompet Dhuafa melalui Lembaga Pelayan Masyarakat (LPM), membantu Daus agar mendapatkan ijazah yang sudah dua tahun hanya tersimpan di arsip Sekolah. LPM lewat program “Tebus Ijazah” melunasi tunggakan Daus dan ijazah miliknya pun dapat diraih dengan penuh bahagia.
“Terima kasih para donatur dan Dompet Dhuafa yang sudah bantu saya. Mohon doanya supaya saya dapat kerja di Perusahaan yang sekarang dan tidak jadi pekerja borongan lagi,” ujar Daus seraya memohon doa dari kita semua. (LPM Dompet Dhuafa/Rifky)