Asa Perempuan, Ketika Berperan Menopang Hidup Keluarga

Meningkatnya jumlah pekerja wanita saat ini, baik pada sektor formal maupun informal, dilatarbelakangi oleh beberapa faktor, antara lain faktor kebutuhan finansial. Tingginya tingkat kebutuhan rumah tangga, menuntut peran mencari nafkah ‘terpaksa’ dibagi antara suami dan istri. Artinya istri bekerja dalam rangka mendukung ekonomi rumah tangga, meski istri mungkin saja sebenarnya tidak ingin bekerja. Faktor ini mungkin lebih banyak terdapat pada kelompok rumah tangga kelas ekonomi bawah.

Bintan Khumeira, Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta memaparkan, penyebab lainnya ialah meningkatnya jumlah perempuan yang mengenyam pendidikan tinggi. Pada kelompok ini, keinginan perempuan untuk bekerja karena ada suatu kebutuhan akan penerimaan sosial. Mereka membutuhkan adanya identitas sosial yang diperoleh melalui komunitas kerja. Dengan bekerja memungkinkan seorang wanita mengekspresikan dirinya sendiri dengan cara yang kreatif dan produktif, untuk menghasilkan sesuatu yang mendatangkan kebanggaan terhadap diri sendiri. Apalagi jika mereka berprestasi, mendapatkan penghargaan dan umpan balik yang positif. Melalui bekerja, wanita berusaha menemukan arti dan identitas dirinya, yang pada akhirnya menimbulkan rasa percaya diri dan kebahagiaan.

Selain itu, keinginan perempuan untuk bekerja bisa terkait dengan kebutuhan untuk aktualisasi diri. Seperti dikatakan oleh Abraham Maslow (1960) dalam teori hirarki kebutuhan, bahwa salah satu kebutuhan manusia adalah kebutuhan akan aktualisasi diri. Wanita bekerja yang bahagia dengan pekerjaannya, bisa meningkatkan relasi yang sehat dan positif dengan keluarga. Wanita yang bekerja cenderung mempunyai ruang lingkup yang lebih luas dan bervariasi, sehingga cenderung mempunyai pola pikir yang lebih terbuka, lebih energik, mempunyai wawasan yang luas dan lebih dinamis.

Mengenai tantangan, Dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi ini memaparkan, yang dihadapi para perempuan dalam bekerja lebih kepada konflik peran, yaitu disatu sisi dia punya status sebagai istri, ibu dan disisi lain sebagi pekerja. Multi status melahirkan multi peran. Multi peran ini yang seringkali menimbulkan konflik dalam menjalaninya. Apalagi jika perempuan itu bekerja pada suatu perusahaan yang punya aturan yang ketat dan tidak ramah terhadap perempuan. Oleh karena itu kebijakan dalam perusahaan berperan penting dalam memperingan maupun memperberat tingkat konflik peran yang dirasakan perempuan.

Sebagai contoh aturan kerja perusahaan yang 8 jam sehari, misal dari jam 8–16, maka kebutuhan perempuan untuk menyusui anaknya yang masih butuh ASI eksklusif sangat sulit dipenuhi. Padahal kebutuhan ASI tidak bisa digantikan oleh orang lain kecuali dirinya sendiri sebagai ibu. Jelas hal ini akan menimbulkan konflik dalam dirinya, dan bisa memberikan tekanan tertentu. Hal ini juga seringkali menjadi sulit ketika anak sakit, padahal perempuan harus bekerja dan meninggalkannya dalam keadaan sakit. Apalagi jika pekerjaannya menuntut harus lembur atau berpergian ke luar kota. Tantangan ini semakin berat seandainya suami kurang menberikan dukungan yang sehat. Sehingga seringkali menimbulkan konflik dalam relasi suami dan istri. Seperti misalnya di Indonesia yang masih didominasi oleh budaya patriakis yang sangat kuat, turut menjadi faktor yang membebani peran ibu bekerja. Masalah rumah tangga adalah kewajiban sepenuhnya seorang istri.

Masalah yang kemudian timbul akibat bekerjanya sang istri, sepenuhnya merupakan kesalahan dari istri dan untuk itu ia harus bertanggung jawab menyelesaikannya sendiri. Oleh karena itu perlu dukungan kebijakan yang ramah bagi perempuan dari peraturan pemerintah maupun perusahaan, sebagai dukungan sosial bagi perempuan untuk bekerja dan sekaligus tetap bisa melakukan perannya dalam keluarganya, sebagai seorang istri dan ibu.

Bintan melanjutkan, untuk itu, cara agar perempuan Indonesia yang berprofesi agar tetap menjadi perempuan Indonesia yang kuat, tangguh hadapi resesi yang berat, saat ini pemerintah sudah menetapkan program yang merujuk pada pengarusutamaan gender. Pengarusutamaan Gender adalah program yang ditujukan untuk meningkatkan kesetaraan gender yang ditandai meningkatnya kualitas hidup dan peran perempuan terutama di bidang kesehatan, pendidikan, ekonomi termasuk akses terhadap penguasaan sumber daya, politik dan pengambilan keputusan. Artinya jika diberikan kesempatan yang luas dalam mengenyam pendidikan, maka perempuan Indonesia akan menjadi sosok yang mampu menghadapi permasalahan dalam hidupnya secara cerdas.

Demikian juga jika akses perempuan terhadap kesehatan lebih baik, perempuan Indonesia akan tubuh menjadi sosok yang sehat dan kuat dalam mendukung keluarga. Tingkat kematian ibu ketika melahirkan akan menurun jauh, dan para perempuan yang sehat akan menjadi sosok yang kuat juga dalam membangun keluarganya. Selain itu perempuan yang memiliki akses dalam penguasaan sumber daya ekonomi akan menjadi sosok yang tangguh dalam menghadapi persoalan ekonomi keluarganya. Dengan demikian perlu keberpihakan pemerintah dan semua elemen masyarakat untuk meningkatkan kualitas hidup dan peran perempuan.  (Dompet Dhuafa/Uyang)