Asap, Antara Adab dan Azab

JAKARTA — Indonesia patut berbangga, karena mampu menghasilkan produk ekspor baru yang sangat absurd. Pemaknaan absurd dalam penampakan maupun absurd dalam bentuknya. Bahkan begitu absurdnya hingga bukan ucapan terima kasih atau menghasilkan devisa. Namun komplen atau protes dari negara tetangga hingga netizen di jagat maya.

Asap hasil dari kebakaran hutan dan lahan menjadi produk ekspor baru tersebut. Kemudian menghasilkan beragam teori, dari teori konspirasi hingga politik. Hanya di Indonesia asap dapat berkaitan dengan perilaku politik praktis di kalangan para elit. Terlepas dari haru biru pembahasan asap dan api dari sumber-sumber kompeten di berbagai media, pertanyaannya adalah apakah asap akibat kebakaran hutan dan lahan merupakan azab atau karena kita yang kurang beradab dalam mengelola ibu pertiwi?

Kebakaran hutan dan lahan seringkali menjadi ekses dari pembukaan lahan yang tidak terkendali. Rentang waktu yang singkat dari kejadian awal hingga selanjutnya. Persebaran lokasi kebakaran yang dominan wilayah hutan di sekitar perkebunan. Daerah yang terbakar dominan merupakan lahan gambut, secara tidak langsung memberikan gambaran ideal bagaimana pembukaan lahan yang tidak ideal mengakibatkan adanya kejadian tersebut.

Pola pembukaan lahan dengan cara membakar bukanlah hal baru bagi sebagian masyarakat adat. Sialnya, mereka lebih sering menjadi kambing hitam dari kebakaran hutan dan lahan. Kebiasaan peladang berpindah dan cara unik masyarakat adat melakukan aktivitas pembukaan lahan, bukannya tidak beradab sama sekali. Masyarakat adat di Kalimantan misalnya, tidak sembarangan melakukan pembakaran lahan saat membuka ladang baru. Sebelum proses pembakaran berlangsung, peladang akan membuat sekat bakar sebagai pembatas api. Caranya dengan membersihkan sekeliling ladang dari semak, daun dan ranting. Selain itu juga membuat parit dangkal dengan lebar satu hingga empat meter. Tujuannya agar saat pembakaran berlangsung, api tidak merembet ke lahan lain dan menyebabkan kebakaran hutan. Gotong-royong menjadi langkah masyarakat adat membuka lahan. Begitu juga saat menunggu api, mereka tak akan meninggalkan ladang hingga api benar-benar padam. Ini adalah adab dari budaya yang terjaga turun-temurun selama beribu tahun oleh masyarakat adat. Bagi mereka hutan adalah pusat kehidupan.

Menjaga pusat kehidupan, memerlukan pengetahuan agar tidak punah. Edukasi tentang kebakaran hutan dan lahan (karhutla) akhirnya menjadi sangat penting. Mulai dari bagian paling dasar tentang bagaimana kesadaran pengelolaan lahan yang lebih beradab, dan bertanggung jawab hingga bagaimana kemudian masyarakat mampu dan siap menghadapi kejadian yang sama terulang. Di negara-negara yang secara berulang terpapar badai topan, masyarakatnya secara tanggap mampu mempersiapkan diri untuk mengondisikan rumah tinggal hingga dirinya mampu mengurangi resiko yang muncul.

Akan sangat mungkin, kejadian karhutla dengan asapnya yang berbahaya, secara simultan terjadi pada periode yang bisa terprediksi oleh masyakarat. Rumah-rumah mempersiapkan sebaik mungkin saat asap mulai merebak. Melembabkan secara berkala filter untuk melapisi ventilasi menjadi langkahnya. Kerai dengan serat yang rapat juga terpasang di jendela dan pintu, tanaman anti polutan tertanam di halaman dan memaksimalkan sistem sirkulasi udara dengan memasang exhaust fan. 

Setidaknya ini adalah langkah-langkah sederhana agar kita selalu menjadi masyarakat yang siap. Tak perlu menunggu hasil akhir dari siapa dan apa yang menyebabkan produk ekspor baru tersebut muncul, dan tak perlu menunggu hasil debat. Apakah ini bencana atau musibah atau bahkan azab? Yang bisa kita lakukan adalah bersiap untuk menunggu datangnya kembali musim asap, setelah musim hujan dan musim kering. (Dompet Dhuafa/Benny DMC)