JAKARTA — Pada gelaran acara International Da’wah Outlook 2022, di Grand Whiz Poins Simatupang, Jakarta, pada Kamis (29/12/2022), Divisi Layanan Dakwah Dompet Dhuafa menghadirkan beberapa narasumber untuk berdialog pada sesi Dialog Interaktif International Da’wah Outlook. Acara ini dihadiri oleh 50 Dai Ambassador Dompet Dhuafa yang pernah ditugaskan di 16 negara.
Sesi dialog interaktif kedua ini dipandu oleh Fatchuri Rosyidin selaku Direktur Inspirasi Melintas Zaman (IMZ) dengan narasumber yaitu Suparto, M.Ed., Ph.D selaku Dekan Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Dr. KH. Cholil Nafis, Lc.,MA selaku Ketua MUI Bidang Dakwah dan Ukhuwah, dan Achmad Syalaby Ichsan selaku Redaktur Republika.
Pada kesempatannya, Suparto mengatakan, keberadaan dai ambassador seperti Dompet Dhuafa ini sangat penting bagi masyarakat yang ada di negara-negara lain. Di sana, para pegiat dakwah atau dai itu memiliki 3 (tiga) fungsi yaitu sebagai penyuluh, penceramah agama, dan pengelola majelis taklim. Tiga area ini menjadi kegiatan dakwah yang harsu berjalan.
Ia kemudian menceritakan berbagai kesan pengalamannya selama berada di Australia sebagai mahasiswa. Selama di sana, ia juga mengamati dakwah Islam ini belum tersentuh secara serius. Sebab para penceramah di sana adalah penceramah dadakan dari kalangan pelajar, termasuk para diaspora Indonesia. Menurutnya, mahasiswa-mahasiswa di sana terutama dari PTKIN itu datang banyak yang datang tapi enggan terlibat dalam aktivitas dakwah.
Maka, kini Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta memiliki program bersama PBB dalam penguatan dakwah Islam. Program ini berlangsung selama 2 (dua) bulan.
“Saya kira Dompet Dhuafa dapat bersinegi dalam hal ini bersama Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Jakarta pada segi penguatan materi. Fakultas Dakwah sangat welcome untuk membangun sinergi terkait dakwah internasional,” sebutnya.
Selanjutnya, KH. Cholil Nafis mengatakan bahwa seorang dai tidak harus berpenampilan ustaz. Mereka boleh berpenampilan gaul sesuai target jamaahnya. Justru dengan demikian lah materi dakwah akan bisa lebih gampang diterima dan melekat pada jamaahnya.
Ia juga menghimbau kepada para dai untuk tidak menunggu panggilan, namun harus memiliki inisiatif masing-masing. Meksi begitu, MUI akan berupaya untuk membuat regulasi supaya para dai memiliki sertifikasi sebagai dai yang standar, sehingga akan lebih mudah untuk bergerak melakukan aktivitas-aktivitas dakwah.
“Bagi teman-teman yang aktif di aktivitas dakwah, jangan nunggu dipanggil. Namun lakukan inisiatif untuk menciptakan atmosfer keagamaan. Bisa dimulai dengan majelis taklim yang kecil ataupun pembelajaran Alquran,” pesannya.
Menurutnya, setidaknya ada 3 (tiga) poin beekenaan dengan standarisasi ustaz/dai. Di antaranya harus bisa menjelaskan tentu tentang ke-Islam-an, memahami tentang kebangsaan, dan yang ketiga adalah menjadi wasathiyah serta banyak menjauhi kontroversi.
Baca Juga: Dompet Dhuafa Gelar International Da’wah Outlook
Dari kacamata media, Achmad Syalaby Ichsan menjelaskan, konten-konten tentang Islam akhir-akhir ini cenderung banyak dinikmati oleh para netizen. Sehingga Republika pun mengambil langkah berikutnya dengan menutup koran dan bermigrasi ke digital untuk menjangkau segmen masyarakat digital yang lebih luas.
“Salah satu basis sosial di era 4.0 dan 5.0 ini adalah jejak digital. Sehingga pesan dakwah teman-teman dai dapat menjangkau lebih banyak jamaah. Tidak hanya pada masyarakat Indonesia saja melainkan juga menjangkau saudara-saudara yang berada di luar negeri,” ungkapnya.
Tentunya ada banyak peluang kolaborasi terkait dakwah internasional, baik dalam ranah kebijakan oleh pemerintah, keterlibatan elemen-elemen sosial dan filantropi, hingga dalam media digital. (Dompet Dhuafa / Muthohar)