LAMPUNG — Gelaran International Volunteer Day (IVD) Camp di Lampung pada 16-18 Desember 2022 lalu masih begitu membekas. Sebanyak 100 relawan dari seluruh Indonesia telah mendapat banyak materi tentang program dan aksi inklusi. Bertajuk “Inclusive Volunteer in Action”, pertemuan nasional relawan se-Indonesia ini menghadirkan seminar “Inklusi & Komunikasi Empati” oleh sosok relawan dengan segudang prestasi.
Dia adalah Triana Rahmawati, pendiri Griya Schizofren dan juga Happiness Family Scholarship.
Didirikan pada tahun 2012, Griya Schizofren mulanya adalah sebuah program implementasi projek beasiswa Baktinusa 4. Berkembang dan terus berkembang, kini Griya Schizofren sudah menjadi komunitas dan tahun 2023 nanti akan menjadi sebuah yayasan.
Tidak cukup sampai di situ, sebagai penerima manfaat beasiswa Baktinusa (sekarang Etos ID), ia memegang teguh nilai-nilai yang didapat dari Baktinusa. Hingga, ia termotivasi membangun beasiswa serupa yaitu Happiness Family Scholarship. Kini terus berkembang sehingga menjadi lebih luas dan kemudian mengarah fokusnya ke social entrepreneurship dan digital skill.
Pada sesi seminarnya, Jumat (16/12/2022), tentang komunikasi empati, Triana menjelaskan bahwa ternyata tidak semua yang terjun ke ranah sosial berarti telah berempati. Namun, bisa jadi mereka ini baru pada tahap simpati.
“Ngomongin komunikasi empati itu, meskipun kita ngurusin sosial orang lain, kita ternyata bisa jadi baru sebatas simpati belum empati,” ucapnya.
Empati memiliki arti lebih mendalam dari pada simpati. Jika simpati hanya merupakan sifat seseorang yang merasa iba, empati menjadi sifat seseorang yang merasakan kesedihan orang lain serta tahu apa yang sedang orang lain rasakan pada situasi tersebut. Saat sikap ini muncul, seseorang biasanya juga akan lebih berusaha bekerja sama untuk mencari penyelesaian masalah bersama.
Tria kemudian menjelaskan cara membangun komunikasi empati terhadap orang lain secara inklusi. Ia menegaskan untuk melakukan riset terlebih dahulu. “Non judgemental, jangan menggurui,” tegasnya. “Karena kan kita pengen mendengar dari sisi mereka. Kemudian setelah itu mulai kita membangun hubungan yang setara. Baru kemudian membantu dari sisi kebutuhan dianya,” lanjutnya.
Baca Juga: Gelar IVD Camp 2022, DDV Ajak Para Relawan Beraksi secara Inklusif
Sebagaimana manusia, empati juga membutuhkan ruang sebagai jalan untuk berproses. Jadi, memberikan ruang di hati untuk berempati adalah cara awal untuk memulai membangun rasa empati. Tindakan konkretnya adalah dengan bersosial dan berkomunitas.
Untuk mulai membangun komunitas atau projek sosial, Triana menghimbau untuk memilih terlebih dahulu bidang komunitas/sosial. Kemudian menjalaninya sambil mempelajarinya. Selanjutnya membangun sebuah tim. Baru setelah itu memanfaatkan media sosial untuk mempublikasikan dan mengajak lebih banyak orang untuk saling berkolaborasi.
“Jadi timnya siap, projeknya siap, tujuannya juga, ketika ke publik, publiknya pun siap,” cetusnya.
Pesan Triana kepada para relawan, bahwa menjadi seorang inclusive volunteer adalah ruang terbaik untuk belajar mengasah ruang empati. Letak empati itu berada pada interaksi antar manusia. Namun, jangan sampai lupa untuk juga berempati kepada diri sendiri. Misalnya self acceptance, yaitu menerima kekurangan diri sendiri maupun kelebihan. (Dompet Dhuafa / Muthohar)