Beasiswa Penjara: Penempaan Jiwa, Raga, Pikiran, Etika dan Iman

Surabaya–Tahun 2009 silam saya merupakan mahasiswa baru Jurusan Teknik Kelautan ITS.  Tidak ada yang mengira di keluarga saya, kalau saya akan memiliki takdir kuliah. Tarik ulur ijin untuk kuliah begitu saya rasakan.  Sampai akhirnya saya dinyatakan sebagai mahasiswa baru yang beruntung mendapat kan beasiswa. Rejeki ini diberi Allah melalui Dompet Dhuafa dengan programnya, Beastudi Etos.

Senang rasanya saya bisa mendpatkan beasiswa.  Bayangan saya,  kehidupan saya setelah dinyatakan menjadi mahasiswa baru dengan mengantongi beastudi etos adalah surga dunia. Ternyata semua tidak seenak apa yang saya bayangkan.  Kenapa?  Ternyata mendapatkan beastudi etos,  seperti terkekang dengan segala aturan dan pembinaan.  Itulah persepsi awal saya.  Ketika saya masih menjadi penerima beastudi etos,  saya dipaksa untuk mengikuti segala aturan yang ada.  Kalau dipikir-pikir,  aturan itu adalah syariat dalam islam.  Misalnya, wajib menutup aurat meski isi asrama beastudi etos adalah laki-laki semua,  sholat berjamaah tepat waktu,  wajib tilawah,  setoran hafalan, dan lainnya. Bagi saya kegiatan itu semua belum pernah saya alami ketika sebelum menjadi mahasiswa. Kaget,  tertekan,  tidak nyaman, dan emosi adalah respon awal saya.  Tapi saya harus bertahan,  sy berusaha mempersepsikan bahwa ini semua untuk kebaikan saya. 

Tidak cukup dengan kegiatan keagamaan,  ternyata saya dicekoki pembinaan di beasiswa ini.  Mulai dari pengembangan karakter,  keislaman, sampai ranah sosial.  Yang paling membuat saya lelah dengan program ini ketika saya menjalani kepanitiaan TOENAS dan binaan desa produktif. Sangat susah karena saat itu sempat merasa sendiri.  Saya sempat lupa,  kalau dalam program beasiswa etos ini saya memiliki keluarga baru yang selalu menjadi motivasi lebih baik dari sebelumnya. 

Karena awalnya saya merasa terkekang,  maka saya katakan kalau beasiswa etos ini adalah beasiswa penjara.  Beriringnya waktu,  ternyata saya merasakan ada perbedaan pola pikir dan cara saya menyikapi terhadap suatu hal.  Saya mulai merasa ada pendewasaan dalam diri saya.  Inilah tempan,  inilah pembinaan.  Saya baru sadar bahwa apa yang awalnya saya bilang sebagai penjara ternyata mampu melahirkan seorang pribadi yang baru.  Seorang insan yang lebih jauh paham terhadap islam,  seorang insan yang lebih jauh peka terhadap sosialnya, seorang insan yang lebih berkarakter, serta seorang insan yang lebih cerdas dalam menata hatinya.

Perubahan demi perubahan saya rasakan. Dan saya yakin,  perubahan ini merupakan hikmah dari Allah melalui beasiswa yang awalnya saya kira penjara.  Beastudi etos merupakan bagian perjalanan hidup saya dalam membenahi diri.  Saat ini saya menempuh program doktor energi laut di ITS dengan skema beasiswa PMDSU dari DIKTI. Bersama istri saya,  adinda Ika Purnamasari,  saya ingin membangun peradaban yang lebih santun untuk Indonesia ini. Peradaban yang lebih madani sebagai bentuk pengabdian kecil saya kepada masyarakat yang telah andil dalam pembiayaan Bestudi Etos. Allah selalu bersama hamba-Nya. Takdir kita sudah tertuliskan, tinggal kita pilih jalan penuh berkah dalam menjemput takdir tersebut.

Ditulis di Surabaya
Sony Junianto
Penerima Beastudi Etos Surabaya 2009
Mahasiswa Doktor bidang Energi Laut,  ITS.