TULUNGAGUNG, JAWA TIMUR — Sejauh 750 Km dari Ibu Kota Jakarta—yang kini tengah dikepung isu polusi udara, langit biru cerah menyelimuti desa yang nampak hijau kemilau. Tercatat kala itu, Selasa (22/8/2023) siang, indeks kualitas udara (AQI) desa tersebut menunjukkan nilai 44 AQI US. Artinya, udara dalam kondisi yang baik. Masker pun saya tanggalkan, saya merasa sangat bebas untuk menghirup napas panjang dan menghembuskannya, perlahan.
Berbagai macam buah segar dihidangkan, lengkap dengan jus buah dalam kemasan. Membuat saya sejenak ingin melupakan hiruk pikuk Kota Jakarta yang penuh dengan kerumitan. Tak terdengar suara bising kendaraan, tak terhirup karbon pembakaran, tak terlihat wajah terlipat lalu lalang, hanya kesejukan alam berhias warna kuning buah matang yang saya temukan.
Berbincang tentang pemberdayaan insani, menjadi hal yang sangat cocok untuk melengkapi momen singkat ini. Awal perbincangan dimulai dengan mencicipi buah belimbing segar yang baru saja dipetik dari kebun oleh Udin, warga tulen Desa Bono, Kecamatan Boyolangu, Kabupaten Tulungagung. Tepat di samping rumahnya, kami saling bertukar cerita tentang pemberdayaan.
Baca juga: Berdayakan Petani Lokal, Dompet Dhuafa Hadirkan Wakaf Green House dan Lakukan Sterilisasi
Lahir dan besar di Desa Bono, pria berusia 50 tahun tersebut telah lama memiliki cita-cita mengubah pola pikir masyarakat desa. Keinginannya ini muncul atas keresahannya selama ia dan 80% warga Desa Bono lainnya menjadi pekerja migran di negeri orang. Keinginan ini didorong juga oleh banyaknya permasalahan keluarga yang muncul di masyarakat akibat adanya jarak pemisah antar anggota keluarga.
Pada tahun 2015, ia mulai menggali potensi-potensi desa dan masyarakatnya. Bulat lah tekadnya untuk mengembangkan salah satu potensi Desa Bono sebagai desa penghasil buah belimbing bermutu baik. Bermodal pengetahuan tentang pertanian yang didapatnya dari buku-buku di perpustakaan, kawasan sekitar rumahnya yang dahulu adalah rawa, disulapnya menjadi kebun belimbing yang berbuah setiap masa.
Setahun berselang, Pak Udin mengajak beberapa penggawa tani di desanya untuk membentuk sebuah kelompok pertanian. Sebagian besar menolak, namun sebagian kecil tertarik dan menyatakan komitmennya untuk mengembangkan potensi desa. Ia dan rekan-rekannya kemudian berhasil membudidayakan sebuah pekarangan kebun berisi 10 pohon belimbing.
Ingin lebih luas berkembang, pada tahun 2018, dibantu oleh para mahasiswa yang saat itu sedang melakukan KKN di desanya, Udin merancang sebuah konsep pemberdayaan untuk diajukan pada Program Call for Proposal (CFP) Dompet Dhuafa.
“Keinginan saya adalah mengembangkan potensi sumber daya lokal. Dulu, warga sini umumnya adalah TKI/TKW. Ada permasalahan di situ, yaitu saat mereka pulang ke keluarganya di desa, dia tidak memiliki usaha sampingan. Jadinya, selama di desa kemudian uangnya habis, kemudian balik lagi, dan terus berulang dan berulang. Saya kira itu masalah. Masalah-masalah keluarga sering muncul karena hal ini,” jelas mantan PMI di Malaysia tersebut.
Dalam konsep proposalnya, Udin ingin mengajak masyarakat desa untuk memanfaatkan pekarangan yang ada, guna mendapatkan hasil yang lebih menguntungkan. Konsep tersebut ia kemas dengan nama Wisata Desa Belimbing Tulungagung. Konsepnya ini berhasil lolos uji oleh para dewan juri di Jakarta, bahkan menempati peringkat pertama terbaik dari 87 program yang diajukan dari seluruh Indonesia.
Inisiasi awal yang ia bangun adalah sebuah gapura untuk mengenalkan bahwa di Tulungagung ini ada sebuah Wisata Desa Belimbing yang termasuk di dalamnya juga ada wisata edukasi. Kemudian, ia merancang program-program pelatihan serta pembinaan manajemen pertanian dan perkebunan. Ia juga tak segan menyediakan bibit-bibit sebagai modal bagi para peserta pelatihan.
Langkah selanjutnya, untuk mewadahi para petani, Pak Udin membuat kelompok pekebun belimbing untuk dibina secara intens. Dalam kelompok-kelompok tersebut ada 50 warga penerima manfaat. Para peserta di kelompok ini pun terus mengalami perkembangan hingga masing-masing mampu berdaya di lingkup keluarganya.
Pada tahun 2023, artinya pemberdayaan ini telah ada selama lima tahun. Saya pun sangat penasaran dengan dampaknya. Apakah masih berbekas, atau justru terbengkalai? Dan apakah yang dicita-citakan oleh Pak Udin gagal?
Terus melanjutkan perbicangan, Pak Udin mengajak saya berkeliling mengitari desa untuk melihat dan merasakan lebih dekat rindangnya Desa Bono. Terlihat banyak sekali kebun belimbing di setiap gang desa yang kami susuri. Tak kalah rindangnya dengan rumah Pak Udin, setiap rumah warga pun memiliki setidaknya satu pohon belimbing. (Dompet Dhuafa/Muthohar)
Bagian selanjutnya… baca Belajar dari Perpustakaan, Pria Putus Sekolah Sukses Kembangkan Wisata Desa Belimbing (Bagian Dua)