TULUNGAGUNG, JAWA TIMUR — Keberhasilan Udin membangun Wisata Desa Belimbing, tak berjalan sesingkat yang dinalar. Kegigihannya dalam membangun pola pikir masyarakat telah melalui banyak lila-liku hambatan. Terlebih, ia hanya seorang lulusan sekolah dasar, yang membuat orang-orang meremehkannya.
Meski begitu, tekadnya untuk belajar dan berkembang sangat lah kuat. Udin mengaku bahwa dahulu ia adalah seorang kutu buku. Meski putus sekolah, namun setiap hari ia datang ke perpustakaan untuk membaca. Ia mendapatkan ilmu tentang pertanian pun dari buku-buku yang dibacanya. Bahkan, Udin rela untuk mengunjungi perpustakaan di daerah-daerah lain untuk mendapatkan buku dan ilmu yang ia ingin dapatkan.
“Saya akui, sekolah saya … ya di perpustakaan. Saya percaya bahwa membaca (buku) adalah jendela dunia. Itu benar,” tegasnya.
Baca juga: Tingkatkan Taraf Ekonomi, Dompet Dhuafa Jawa Timur Dorong Petani Belimbing Berdaya
Hal yang terus memotivasinya juga adalah nasihat dari kakeknya yang selalu ia pegang hingga sekarang.
“Orang hidup kalau tidak bermanfaat bagi orang lain, lebih baik mati saja,” ucapnya, mengutip nasihat si mbah.
Perkataan bernada kasar itu saya kira wajar. Sebab, saat itu mbah dari Udin adalah seorang yang menjadi pekerja rodi pada zaman kolonial Belanda maupun romusha pada zaman penjajahan Jepang. Udin kemudian menjelaskan maksud dari perkataan mbahnya itu, yang berarti “Karaktermu akan mati jika tidak menjadi orang yang bermanfaat”.
Udin kemudian berkata seolah melontarkan seruan, “Jangan wariskan beras kepada anak cucu kita, tapi mari wariskan cangkul. Artinya jangan hanya wariskan harta/benda karena itu akan habis, tapi wariskan ilmu pengetahuan karena itu akan terus berkembang dan tidak ada habisnya”.
Baca juga: Penjelasan Lengkap Pemberdayaan Masyarakat Adalah Solusi Permasalahan Sosial
Itu yang menjadikan Udin terus belajar dan tidak merasa puas dengan ilmu pengetahuan yang didapat. Ia ingin di rumahnya kelak ada yang bergelar sarjana. Karena ia tidak memiliki banyak akses terhadap pendidikan, maka ia mencari cara agar bisa belajar apa yang dipelajari seorang sarjana. Ia pun merasa apa yang ia jalani selama ini dengan mencari banyak literasi dan koneksi, ujungnya untuk memenuhi kebutuhan ekonomi.
“Saya meyakini betul pentingnya pendidikan. Maka itu, saya selalu berikan motivasi kepada anak-anak saya untuk terus menempuh pendidikan setinggi-tingginya. Yang penting dalam pikirannya adalah tentang mau jadi apa, bukan jadi siapa,” tukasnya.
Lagi-lagi, Udin menyampaikan sebuah kalimat kutipan yang menjadi motivasinya untuk terus berkembang. Kalimat itu berisi “Sepotong gelombang tidak akan mampu menjelaskan siapa dirimu bila ia telah menjadi buih di tengah lautan”.
Maksudnya adalah, “Apa pun yang kita jalankan itu jangan berharap pujian. Mengalir saja. Karena kalau kita katakan itu pujian, maka kita akan rawan untuk berhenti di situ,” jelasnya.
Baca juga: Dompet Dhuafa Launching Pilantrokopi, Coffee Shop di Padang Berbasis Pemberdayaan Dana Filantropi
Pertemuan dengan sosok Udin bagi saya sangat berkesan. Di Dompet Dhuafa, orang seperti Pak Udin ini kami juluki sebagai seorang “Local Hero”. Dia lah pahlawan lokal yang rela mengorbankan waktu dan tenaganya untuk memperjuangkan dan mensejahterakan orang lain. (Dompet Dhuafa/Muthohar)