JAKARTA — Berdasarkan hasil penelitian IDEAS (Institute For Demographic and Poverty Studies), Indonesia cenderung terus memfasilitasi akses investor global ke tanah dan buruh murah untuk perkebunan besar, bahkan diatas kerugian rakyat yang kehilangan hak atas tanahnya. Disampaikan oleh Yusuf Wibisono selaku Direktur IDEAS, Indonesia menghadapi derasnya arus investasi agribisnis global skala besar, disebabkan oleh terjangan kapital perkebunan dan land grabbing.
“Ini sebenarnya primitif sekali, para petani diambil tanahnya, diakuisisi, kemudian dipaksa menjadi buruhnya,” papar Yusuf, dalam sebuah Focus Group Discussion yang digelar secara daring melalui Zoom Us oleh Dompet Dhuafa pada Kamis (14/3/2022).
Indonesia termasuk negara yang tak lepas dari tren land grabbing yang semakin global dalam incaran investor untuk transaksi penguasaan tanah di dunia. Secara umum, fenomena land grabbing tersebut menimbulkan konflik agraria di seluruh ilayah Indonesia tentunya. Sepanjang tahun 2020, tercatat telah terjadi 241 letusan konflik agraria di 359 kampung/desa, melibatkan 135.337 KK di atas tanah seluas 624.272,711. Bahkan secara akumulatif jika dijumlahkan dari tahun 2015 hingga 2020 telah terjadi sebanyak 2.288 letusan konflik agraria di seluruh wilayah Indonesia (KPA, 2020).
Senada dengan itu, Erasmus Cahyadi selaku Deputi Sekjen AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara), menyebutkan, masyarakat adat dan hak atas wilayah adat merupakan potret penguasaan dan kebijakan. Masyarakat adat memiliki hak khusus (bawaan), sifatnya merujuk pada dimensi historis, hak tradisional. Sebab hak mereka merupakan hak yang tidak diberikan negara.
“Pun acap kali terdapat kasus perampasan wilayah adat yang diikuti dengan kekerasan terhadap masyarakat adat, ada 40 kasus di tahun 2020. Ini adalah potret dimana kebijakan pemerintah memberikan sengsara bagi masyarakat adat. Sepertinya hukum kita adalah seperangkat instrumen yang menundukkan masyarakat adat,” papar Erasmus.
Isu agraria menjadi isu yang strategis, pengaduan yang banyak dan melibatkan masyarakat banyak. Namun, hukum adalah produk politik. Salah sama dengan benar, benar bisa salah. Seolah regulasi yang diterbitkan tak menjawab permasalahan Agraria yang ada, maka apakah kehadiran regulasi-regulasi tentang kebijakan pertanahan serta keturunannya bagian dari solusi atau masalah? Beranjak dari mana upaya yang seharusnya pemerintah lakukan untuk menyelesaikan berbagai permasalahan pertanahan di Indonesia? Dan apakah ada catatan komparasi terkait sistem hukum agrarian Indonesia dengan negara lain?
Berangkat dari hal tersebut, Dompet Dhuafa melalui divisi advokasi, berupaya menghadirkan diskusi ini untuk mencari dan menggali lebih jauh data dan fakta lapangan dari para praktisi dengan tajuk “Berdaulat di Tanah Sendiri”. Dari hasil diskusi ini kita berharap dapat memetakan pokok-pokok permasalahan dari hulu ke hilir, serta mencari solusi bagi tata kelola agraria dan masyarakat yang terdampak oleh konflik pertanahan selama ini.
Selain itu, turut hadir dalam diskusi tersebut, Dewi Kartika (Konsorsium Pemerataan Agraria Nasional), Muhammad Choirul Anam (Komnas HAM), dan dimoderatori oleh Aslam Syah Muda selaku (Advokasi Dompet Dhuafa).
Yusuf Wibisono juga menyampaikan, bahwa di luar Pulau Jawa, nyaris tidak ada wilayah yang selamat dari terjangan kapital besar sektor perkebunan, kehutanan, dan pertambangan. Politik agraria nasional mengabdi pada kepentingan kapital besar dengan memfasilitasi pengambilalihan lahan skala luas.
“Arah kebijakan utama seharusnya adalah mempertahankan dan mengembangkan pertanian skala kecil di Jawa, yang harus difasilitasi dengan land reform. Arah kebijakan ini tidak hanya akan menjamin ketahanan pangan nasional, namun juga akan menurunkan kemiskinan dan kesenjangan secara mengesankan,” imbuh Yusuf. (Dompet Dhuafa / Dhika Prabowo)