JAKARTA — Bonefasius Manapin atau Boni, perawat Puskesmas Ayam, Distrik Akats, Kabupaten Agats, Asmat, Papua, menceritakan bagaimana sulitnya menjadi petugas kesehatan di wilayah gizi buruk.
“Pernah suatu ketika, kita dari puskesmas menyalurkan paket kelambu untuk merespon wabah malaria. Besok-besoknya kita lihat kelambu itu dijadikan jaring untuk cari ikan,” ceritanya, saat ditemui di peluncuran buku ‘ASMAT: Mutiara Timur Yang Tersisih’ di Jakarta, Jumat (1/11/2019) lalu.
Walau sejatinya ia merupakan petugas medis, namun lebih dari itu, ia ikut mengedukasi masyarakat untuk lebih melek kesehatan dan gizi. Baginya, kesehatan bukan hanya sekedar mengobati, namun juga menjaga. Saat Kejadian Luar Biasa (KLB) gizi buruk yang menimpa wilayah Asmat, Papua pada 2018 lalu, ia ikut membantu Dompet Dhuafa dalam setiap progamnya. Masalah bahasa dan budaya yang berbeda dapat di mediasi dengan mudah melalui kehadiran Boni.
“Syukur sekali bisa membantu Dompet Dhuafa di wilayah kami. Saya sering menerjemahkan bahasa. Karena di sana masih tergantung menggunakan bahasa daerah,” terangnya.
Boni merasa kehadiran Dompet Dhuafa sangat membantu dalam perkembangan kesehatan di daerahnya. Dibandingkan dengan kondisi ketika KLB pada 2018 lalu, kini anak-anak di sana jauh lebih sehat.
“Dibanding dengan 2018 lalu, tentu sudah berkurang banyak. Dulu mungkin bisa jadi lebih dari 30 – 100%, hari ini paling hanya 5%, itupun gizi kurang, bukan gizi buruk,” tambahnya.
Hingga hari ini, tim kesehatan Dompet Dhuafa masih bertahan untuk memberikan intervensi. Bekerja sama dengan relawan lokal dan pemerintah setempat, tim kesehatan tetap terus menjaga kesehatan warga. Boni berharap bukan hanya berhenti di KLB. Apa yang dilakukan Dompet Dhuafa bisa terus dilakukan. Karena kesehatan bukan hanya mengobati, namun juga menjaganya.
“Pemahaman mengenai kesehatan menjadi yang paling penting. Apa yang dilakukan Dompet Dhuafa saya harap bisa terus dilakukan untuk memberikan pemahaman kesehatan,” jelasnya. (Dompet Dhuafa/Fajar)