Ditulis oleh: A. Makmur Makka
Karena waktu yang singkat, saya akan membacakan naskah ini sepotong-sepotong, supaya waktu yang diberikan kepada saya bisa tepat. Bagaimana memetik dua budaya dan tradisi yang berbeda menjadi sumbu bagi pemberdayaan masyarakat. Materi ini memerlukan riset khusus, bukan sekadar persepsi pribadi, mungkin stereotipe, hanya karena pertimbangan bahwa saya pernah tinggal di pusat budaya Jawa, Yogyakarta. Di mana bertahta keturunan Raja Jawa “benaran”, dibangun oleh Sinuhun Hamengkubuwono I, setelah Perjanjian Giyanti 1755 dengan VOC.
Setiap saya teringat Yogyakarta, saya selalu teringat kumpulan kolom (dalam beberapa buku) budayawan dan sosiolog Umar Kayam yang berjudul Mangan Ora Mangan Pokoke Kumpul. Dalam buku itu, episode demi epsode, saya selalu menemukan kembali seperti pengalaman saya selama berinteraksi dalam sebuah masyarakat dan budaya Jawa, sebuah gambaran sosiologi etnis Jawa.
Begitu pula jika saya membaca Pengakuan Pariyam puisi lirik karya Linus Suryadi AG. Saya membayangkan kembali kehidupan di rumah pangeran-pangeran masa lalu di Langenstran dan Notoprajan yang berpagar tembok tinggi, teduh, dan asri. Sosiologi kehidupan aristokrat, lengkap dengan intrik keluarga dan skandal kecil para raden-raden muda. Karena itu, saya sedikit bias memberikan persepsi saya tentang budaya Jawa. Karena bagi saya, apa yang saya alami selama di Yogyakarta, berinteraksi dengan masyarakat, hanya hal yang indah-indah dan mengesankan.
Baca juga: Gubernur Hamengkubuwono X Dorong Kebangkitan Budaya Lokal dalam Pemberdayaan Masyarakat
Budaya Jawa
Saya melihat kelebihan budaya Jawa:
- Memperhatikan tata krama, sopan santun, rendah hati.
- Mengutamakan harmoni dan kerukunan, menjaga kesimbangan dunia mikro dan makro, serta keseimbangan alam dan manusia.
- Memperhatikan kehidupan spiritual dan mistis. Prof Mr Hardjono, Guru Besar saya di UGM Yogyakarta, setiap hari datang memberi kuliah di Pagelaran (bagian dari keraton Yogyakarta) bersepeda onthel dan berkantor di sebuah ruang kecil di bawah pohon beringin. Kuliahnya tidak henti-henti mengangkat kehidupan spiritual yang berhadapan dengan teknologi. Ia misalnya mengatakan; “bandingkanlah kualitas beras hasil olahan pabrik (teknologi) dengan yang diproses secara alami (tradisional). Kalian akan merasakan bagaimana rasa gurih dan lezat beras yang dihasilkan oleh petani di Pakem (sebuah desa dekat Kaliurang) dari pada beras diolah dengan mesin”.
- Kesenian berupa karya sastra (Pararaton) yang kaya dan berjilid-jilid, tarian Serimpi. Bedhaya adalah ekpresi kesenian yang sangat tinggi, kaya dengan simbolisme. Perhatikan gerakan tangan dan irama musik yang mengiringi. Tabuhan gamelan memakai “tempo” yang diperhitungkan dengan presisi yang tepat, sebelum gong ditabuh. Melalui jedah dan “tempo”, para pemain secara insting/perasaan melakoni tugasnya dengan sabar. Salah satu yang mengagumkan adalah Salendro, tangga nada terdiri dari enam nada dalam satu oktaf, do, re, mi, fa, sol. Terasa ringan, tenang, dan syahdu. (Bandingkan dengan Tari Pakkarena dari Sulawesi Selatan, jika pukulan gendang yang bertalu-talu dengan keras, “pui-pui” yang melengking bisa terdengar sampai satu kilometer jaraknya kata Dwiki Dharmawan), menghilangkan konsentrasi kita pada penari, seolah para penabuh gendang, gong, dan pui-pui bermain sesuai ekspresi sendiri, melupakan gerakan penari. Tarian Gandrang Bulo yang dibawakan oleh anak-anak terlihat hanya improvisasi, walaupun menyenangkan dan menghibur.
- Kesederhanaan dan kebersahajaan. Seseorang dihargai bukan dari materi, tetapi sikap dan budi pekerti.
- Menghindari konflik, tetapi harmoni. Sebelum marah kepada seseorang, seseorang sudah mendahului dengan kata “Maaf, ya”. Marah, minta maaf dulu.
Budaya Bugis
Sementara, kelebihan budaya bugi antara lain:
- Keberanian dan kejujuran, taat pada adat.
- Kemapuan beradaptasi dengan lingkungan tempat tinggal.
- Kemandirian dan ketangguhan (menjadi pelaut dan sukses dinegeri orang).
Konsep Kekuasaan Jawa dan Bugis
Konsep kekuasaan Jawa menurut Benedict Anderson dalam buku The Idea of Power in Javanese Culture, antara lain:
- Energi kosmis (wahyu yang tidak dapat dilihat). Kekuasaan tidak sepenuhnya rasional dan logis. Kekuasaan dianggap dari dukungan supernatural (wahyu) atau karma seseorang. (Sultan Agung misalnya menunggu wahyu/wangsit dari Nyai Roro Kidul, Pangeran. Diponegroro, bertapa di Gua Selarong untuk mendapatkan wangsit dari Sultan Agung.
- Kekuasaan bersifat simbolik dan sentralistik.
- Kekuasaan tidak terlihat, tidak tersentuh.
- Kekuasaan absolut dan tidak untuk dibagi-bagi (berlawanan konsep demokrasi).
Sebagai wajudnya, pemimpin/raja merasa terpilih oleh karma, takdir (mungkin wahyu). Dengan demikian, pemilu dan keputusan dewan perwakilan rakyat hanya prosudural belaka. Semuanya bisa diatur. Untuk “mengaturnya” diperlukan sebuah alat kekuasaan, pamungkas (Soeharto: Golkar, Joko Widodo: Partai Koalisi Besar). Wallahualam.
Konsep kekuasaan Bugis, antara lain:
- Taat dan tunduk pada adat (ade’ mi ripopuang).
- Kesetaraan gender (dalam sistem kerajaan), ada sekitar empat ratu yang bertahta di Bone, pusat kerajaan Bugis. Ratu bukan sekadar simbolis, tetapi Ratu yang turun ke medan perang memimpin rakyatnya berperang melawan musuh (Belanda). Dengan kata lain, seorang pemimpin (Raja) tidak harus lelaki.
- Hubungan Patron dan Client. Apabila sudah merasa berutang budi dengan seseorang pemimpin, ia akan menyatakan kesetiaan dan pengabdian seumur hidup, tidak tergantung pemimpin itu salah atau benar (Polopa ta Polo Panni).
- Raja yang dianggap lalim (tidak adil, melanggar ketentuan adat) bisa segera diturunkan (ipelesso-bugis).
- Pemilihan raja secara formal melalui dewan adat Bate Salapang (Makassar). Keputusan pengangkatan seorang raja, melalui musyawarah dewan adat. Dewan adat bisa sebagai penasehat memberikan pertimbangan jika ada perselisihan dalam masyarakat.
Baca juga: Dompet Dhuafa Dorong Keswadayaan Lokal dan Kewirausahaan dengan Pendekatan Budaya
Budaya Jawa dan Bugis untuk pemberdayaan masyarakat
Bugis: ketangguhan, rasa malu tidak berprestasi, kemandirian, kemampuan beradaptasi dalam masyarakat di mana mereka berada.
Jawa: ketelitian, kerajinan (prigel), inovatif, kesederhanaan, dan menghindari konflik.
Kedua budaya ini adalah modal yang bisa digunakan untuk pemberdayaan masyarakat. (*)