Care Visit Agriculture: Kasepuhan Adat Sinar Resmi

 

Dwina Yusuf

 

Care Visit Agriculture: Kasepuhan Adat Sinar Resmi

 
Kasepuhan Adat Sinar Resmi, demikian nama tempat yang kubaca dari sebuah gambar yang dikirimkan ke whatsapp-ku. Tempat yang akan menjadi tujuan perjalananku kali ini. Waktu mengetahui ada tujuan ke tempat ini, aku berniat mengajak serta dua anakku, Sava dan Gibe. Aku ingin memberikan mereka sebuah pengalaman perjalanan yang berbeda dari tempat liburan sebelumnya. Tetapi ternyata kuota peserta  sudah penuh, aku hanya mendapat 1 seat. Dan hanya aku yang bisa berangkat ke tempat ini.
Sebenarnya perjalanan ini baru akan terlaksana tgl 28 Desember besok, tapi entah kenapa oleh panitia acara dimajukan menjadi tanggal 21 Desember kemarin. Sehingga aku pun terpaksa harus membatalkan kehadiranku dr acara Bio Oil di tanggal 21 itu.
 
 
Kasepuhan Adat sinar Resmi berada di desa Sinar Resmi, Kecamatan Cisolok, Sukabumi. Merupakan salah satu Kasepuhan Adat Banten Kidul yang terletak di kawasan kaki Gunung Halimun Salak, Sukabumi.
Perjalanan ke Kasepuhan Sinar Resmi ini merupakan perjalanan wisata kepedulian yang diadakan oleh Dompet Dhuafa. Dengan nama Care Visit Agriculture, Dompet Dhuafa berdiri dibawah proyek Pertanian Sehat Indonesia membantu mengembangkan pertanian Desa Sinar Resmi. Kerjasama peduli ini sudah berlangsung dari 8 bulan yang lalu.

Kasepuhan Adat Sinar Resmi. Tak sulit mencapai tempat ini. Hanya saja lamanya jauhnya perjalanan dengan jalanan yang cukup menantang, membuat badanku terasa remuk. Hampir 6 jam perjalanan menggunakan mobil elf, aku dan beberapa teman bersama rombongan Dompet Dhuafa menyusuri jalan yang berkelok kelok. Hohoho…ini melebihi jalan pulang kampungku ke Ciamis.

Dalam perjalanan kami menuju Kasepuhan Sinar Resmi, kami dijadwalkan beristirahat sholat makan di pelabuhan ratu. Sebuah resto kecil pinggir pantai menjadi pilihan. Dengan sajian ikan bakar dan lalapan, makan siang hari itu menjadi kurang nikmat karena pesanan jeruk hangatku tak kunjung datang. (Akhirnya minta teh panas dan baru dihidangkan saat sudah mau pergi). Tapi cukup senang karena sempat bermain-main di pingir pantai Pelabuhan Ratu.

Setelah ishoma, perjalanan kami lanjutkan. Sebelum mobil jalan, mas supir melalui mba Dona mengatakan bahwa perjalanan kami selanjutnya ini lebih menantang dari sebelumnya. Hohoho…
Sepanjang perjalanan yang berkelok kelok, turunan dan tanjakan yang panjang, kami disuguhi pemandangan yang beda dari sebelumnya. Barisan pohon karet yang berjajar rapi menghias di kanan kiri jalan. Aku pernah punya khayalan untuk berfoto di antara barisan pohon karet ini loh.

Kasepuhan Adat Sinar Resmi. Akhirnya kami sampai juga ke tempat ini. Setelah kurang lebih 1,5 jam dari Pelabuhan Ratu. Aku takjub dengan apa yang ku lihat. Daerah ini pasti masih sangat kental akan budaya kedaerahannya. Sesampainya di sini kami langsung di sambut dengan kesenian Ngagondang. Kesenian Ngagondang ini setahuku, merupakan kesenian yang biasanya dilakukan dalam rangka upacara mapag sri atau ngampihkeun (menyimpan padi ke lumbung). Dilakukan setelah panen, oleh para wanita desa tersebut yang menumbukkan halu ke lesung secara berirama. Tapi mungkin juga diadakan sebagai penyambutan tamu ya

Ketua Kasepuhan Adat Sinar Resmi, Abah Asep Nugraha dan Ambu menyambut kami. Abah Asep juga memakaikan ikat kepala khas kasepuhan kepada salah satu perwakikan dari kami tanda kami diterima di desa ini. Dan kami pun dipersilahkan masuk ke dalam rumah Abah, yang disebut Imah Gede. Dalam Imah Gede ini sambil mendengarkan penjelasan Abah Asep, kami disuguhi berbagai makanan khas yang dbuat sendiri oleh warga desa. Abah Asep Nugraha merupakan ketua adat generasi ke-10.

Karena kami sampai saat hari mulai beranjak sore, kami dipersilahkan beristirahat dan menginap di rumah warga desa. Rumah-rumah warga di sini terbuat dari bambu dan kayu. Atapnya dari ijuk. Ini ternyata merupakan aturan adat setempat mengenai penggunaan bahan bangunan untuk rumah yang hanya boleh beratapkan ijuk. Walau beratapkan ijuk akan tetapi tak sedikit dari mereka yang memiliki antena parabola di rumahnya. Kontras ya.
Merasakan suasana pedesaan seperti ini menginatkanku pada 14 tahun silam, saat harus menjalankan tugas KKN di sebuah desa di Temanggung, Jawa Tengah. Persis di bawah kaki Gunung Butak.
Dan pengalaman tinggal di daerah seperti ini akan menjadi sebuah pengalaman yang takkan pernah terlupakan.

Pada malam harinya, kembali aku dan rombongan disuguhi kesenian Dogdog lojor dan Jaipongan yang dipentaskan di atas panggung depan Imah Gede.
Dogdog lojor merupakan kesenian khas Banten Selatan. Alat yang dimainkan adalah dua buah dogdog (semacam tabung panjang yang ditabuh) dan beberapa angklung. Dalam kesenian dogdog lojor ini ada permainan yang ditampilkan, yaitu permainan adu dogdog. Para pemain terbagi menjadi dua kelompok, mereka saling berhadapan dan akan mengadu ketangkasan. Masing-masing kelompok yang memegang dogdog berusaha menabuh dogdog kelompok lain. Kesenian dogdog lojor ini cukup menghiburku.

Saat malam semakin larut, aku pun tak kuasa menahan kantuk. Badanku yang sudah terasa pegal-pegal butuh beristirahat, karena besok dijadwalkan untuk turun ke ladang melihat tanaman padi. Aku dan beberapa teman pamit lebih dulu. Sedangkan yang lain masih menikmati malam sambil membakar jagung.

Cerita selanjutnya : Turun ke Ladang Padi

 

Abah Asep memakaikan ikat kepala

 

Ngagondang menyambut kedatangan rombongan

 

Ramah tamah dengan Abah & Ambu di imah Gede

 

Kesenian Dogdog Lojor (foto: Hana No Yuri)

 

imah beratapkan ijuk. (foto: Ahyar)

 

Tulisan ini sudah melalui editing tanpa mengurangi substansinya, disadur dari: http://rumahdwina.blogspot.com/2014/12/Care-Visit-Agriculture-Kasepuhan-Adat-Sinar-Resmi.html