MALAYSIA — Bertugas sebagai seorang dai di negeri yang jauh bukan perkara mudah. Beda negara berarti berbeda kultur, bahasa, karakter dan kebiasaan masyarakatnya. Belum lagi perbedaan cuaca hingga makanan. Terkadang seseorang merasa syok ketika menemukan kenyataan bahwa kondisi di tempat penugasan tidak sama dengan informasi yang didapatkan sebelumnya.
Pada Bulan Ramadan 1444 H/2023 M ini, Dompet Dhuafa menugaskan Luqmanul Hakim Abubakar, salah satu Dai Ambassador untuk pergi ke Negeri Jiran, Malaysia. Banyak kisah dan kesan selama berada di tempat penugasan, Luqman pun menuliskan sebuah catatan perjalanan kepada Dompet Dhuafa di Tanah Air.
“Mitra dan objek dakwah yang kita temui juga terkadang berbeda dengan yang kita bayangkan. Kultur berbeda, gaya komunikasi berbeda, background ormas, afiliasi keagamaan dan lain-lain. Maka tidak ada pilihan kecuali mencari kesamaan-kesamaan yang mungkin bisa mendekatkan,” tulisnya kepada Dompet Dhuafa, Rabu (5/4/2023).
Baca juga: Catatan Dai Ambassador Dompet Dhuafa: Bertahan dalam Godaan di Negeri Kanguru
Tahun 2019 lalu, ketika Ustaz Luqman bertugas sebagai Dai Ambassador di Brunei Darussalam, ia begitu akrab dengan Pak Sujatmiko, Duta Besar RI untuk Brunei. Hampir setiap hari, ia diajak duduk bercengkrama, baik di sela-sela jam istirahat zuhur atau pun saat acara sungkai/buka puasa dan tarawih bersama. Mereka akrab dan dekat.
Namun, kesan ketika ia pertama kali melakukan silaturrahmi sebetulnya tidak terlalu mulus. Komentar Dubes setelah ia memperkenalkan diri sebagai Dai Ambassador Dompet Dhuafa masih teringat jelas.
“In Bandar Seri Begawan, there were lots of Indonesian Da’i. If you can’t give us something special, then what we have here are actually enough, (Di Bandar Seri Begawan, banyak Dai Indonesia. Jika Anda tidak dapat memberikan kami sesuatu yang spesial, maka Dai yang sudah kami miliki di sini sudah cukup),” kata Luqman membuka ingatan tentang perkataan Sujatmiko.
“Saya kaget? Pasti. Saya sebelumnya sudah memikirkan semua kalimat untuk berdialog, tapi tidak membayangkan akan berhadapan dengan kalimat seperti ini. Saya tidak cukup siap dengan jawabannya. Buru-buru saya mencari informasi tentang Pak Sujatmiko. Lewat google, saya tahu Beliau pernah menjabat sebagai Duta Besar RI di Sudan 2010-2014,” lanjut Luqman bercerita.
Baca juga: Catatan Dai Ambassador Australia: Bazar Ramadan Lakemba Sydney Turut Diramaikan Nonmuslim
Kebetulan, pada sekitaran tahun yang sama, Luqman menempuh pendidikan S2 di sana. Sebetulnya, ia tidak pernah bertemu dengan Sujatmiko saat kuliah. Tapi yang pasti, mereka berdua punya kenangan yang sama tentang panasnya cuaca di Khartoum dan ‘Negeri Dua Nil’. Ia memanfaatkan kenangan itu sebagai pintu masuk yang bagus untuk mengakrabkan diri.
“Alhamdulillah, setelah itu langsung akrab dan cair. Meminjam istilah orang Arab: ‘Wa in lam Tajma’na Al Ayyaam, Jama’atna Adz dzikrayaat’ (walaupun waktu tidak mempertemukan, tapi kenangan yang sama telah menyatukan kami),” kata Luqman.
Tahun ini, ia ditugaskan sebagai Dai Ambassador Dompet Dhuafa ke Malaysia. Mitra utama Dompet Dhuafa di Kuala Lumpur adalah Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM). Jadi, hampir semua tugas dan layanan dakwah dipusatkan pada komunitas berbasis Muhammadiyah.
Sebagai seorang santri yang lahir dan tumbuh besar dalam lingkungan dan tradisi Nahdiyyin, ia menemukan banyak sekali perbedaan-perbedaan. Tapi tentu saja ada lebih banyak persamaan yang menyatukan. Mesi begitu, ia diterima dengan baik, akrab dan penuh kehangatan.
“Salah satu pelajaran penting yang dapat saya petik dari perjalanan menjadi Dai Ambassador adalah, bahwa untuk sukses dan diterima, mesti cepat beradaptasi dengan lingkungan yang baru. Fokus pada hal-hal ‘tsawaabit’ yang bersifat permanen. Mencari kesamaan-kesamaan yang menyatukan dan berlapang dada pada perbedaan-perbedaan,” pungkasnya. (Dompet Dhuafa/LHA/Muthohar)