SYDNEY, AUSTRALIA — Ustaz Yendri Junaidi, Lc., MA., salah satu Dai Ambassador Dompet Dhuafa 2023 yang ditugaskan di Sydney, Australia membagikan catatannya selama beberapa hari sudah tinggal di Kota Zamrud itu. Sebagai kota terbesar di Australia yang juga dikenal sebagai kota multikultural, Sydney di pandangan Ustaz Yendri tetaplah sepi. Ia pun mulai merenungi nikmat yang dimiliki apabila dia berada di Tanah Air.
“Kapan kita menyadari nikmat sehat? Ketika sakit.”
“Kapan kita menyadari nikmat bekerja? Ketika kehilangan pekerjaan.”
“Kapan kita menyadari nikmat keramaian? Ketika berada di daerah yang sepi dan lengang,” tulis Ustaz Yendri dalam catatan yang diberikan kepada Dompet Dhuafa.
Bagi Ustaz Yendri, tanah tempat ia lahir mengingatkan dirinya pada nikmat keramaian, di mana orang berlalu lalang dan saling menyapa, walau hanya dengan senyuman. Padahal, Sydney adalah kota dengan populasi paling padat ketimbang kota-kota lainnya di Australia. Namun, salah satu Dai Ambassador Dompet Dhuafa itu malah merasa kota tersebut lengang.
“Tak jauh jauh berbeda dengan saat pertama kali ke Australia pada tahun 2017 silam, negara sekaligus benua ini tetap terasa sepi, bagi saya yang biasa hidup di tengah keramaian,” ungkap Ustaz Yendri.
Baca juga: Dai Ambassador Dompet Dhuafa Tuntun Ikrar Syahadat Pemuda Asing di Belanda
Kini, Ustaz Yendri barulah merasa bahwa “keramaian” juga merupakan Sebuah nikmat yang harus ia syukuri. Kini, kini ketika sudah tinggal di Sydney untuk melanjutkan dakwah Dompet Dhuafa, ia mulai merindukan itu semua.
“Saya yang sering mengeluhkan jalan macet, suara klakson yang memekak telinga, orang-orang berteriak di pasar dan jalanan, sekarang seperti merindukan itu semua,” akunya.
Selain soal keramaian, Ustaz Yendri juga teringat dengan kemudahan-kemudahan dalam beragama di Indonesia yang tak dapat ia rasakan di Australia. Salah satu contohnya adalah kemudahan dalam membangun masjid. Namun kemudahan itu justru menjadi kekhawatiran bagi sebagian orang. Sebagian orang mengeluh dengan banyaknya jumlah masjid dan musala. Alasannya, karena khawatir jemaah akan terpecah belah dan suara azan yang terus bersahutan akan mengganggu kenyamanan.
Baca juga: Urgensi Pendidikan bagi Anak-Anak TKI: Catatan Dai Ambassador Dompet Dhuafa di Malaysia
Namun di Sydeny justru kebalikannya. Perlu perjuangan yang panjang dan melelahkan untuk bisa membangun sebuah masjid. Sebagian besar masjid di Australia adalah gereja yang dibeli oleh umat Islam, dan kemudian disulap menjadi masjid. Salah satunya adalah Masjid al-Ummah yang dikelola oleh muslimin Bangladesh.
“Dari luar, kita tidak akan menyangka bahwa itu masjid. Satu-satunya hal yang membuat kita bisa mengenali bahwa itu masjid adalah simbol bulan yang berada di puncak menaranya, yang mana sebelumnya adalah salib,” terang Ustaz Yendri.
Tak sampai di situ, untuk dapat mengganti simbol salib menjadi simbol bulan pun membutuhkan dana yang tidak sedikit serta waktu yang tidak sebentar. Sehingga, keberadaan masjid tersebut terasa sangat istimewa bagi umat Islam di Sydney.
Baca juga: Sebar Ajaran Islam ke Mancanegara, Cordofa Kirim Dai Ambassador ke Taiwan dan Hongkong
Benar apa kata orang, nikmat baru terasa harganya ketika ia sudah tiada…
Oleh sebab itu, marilah kita belajar untuk mensyukuri apa dan bagaimanapun kondisi yang kita rasakan saat ini. Ustaz Yendri berpesan agar kita tidak mudah mengeluh, karena bisa jadi apa yang kita keluhkan itu, suatu saat nanti justru akan kita rindukan. Layaknya sebuah syair berbunyi:
كم من زمان بكيت فيه فلما صرت في غيره بكيت عليه
“Aku sering menangisi suatu kondisi. Tapi ketika tiba di kondisi yang lain aku merindukan kondisi sebelumnya.”
(Dompet Dhuafa/Ustaz Yendri Junaidi, Lc, MA/Ronna)