YANGON, MYANMAR — Pagi begitu cerah mewarnai akhir pekan, Sabtu (11/5/2019). Tapi hawa panas tetap terasa dan keringatpun membasahi tubuh. Untuk mengisi hari, sehabis memberikan kajian rutin Ramadhan bakda subuh, saya berinisiatif untuk joging mengelilingi wisma mitra, tempat dimana saya tinggal, selama menjalankan amanah sebagai Dai Ambassador Dompet Dhuafa.
Di sela joging, menemukan pemandangan yang tidak aneh lagi bagi saya, dimana ketika di daerah asal saya (Serang), kebiasaan sarungan sudah membudaya terutama bagi para santri. Nah budaya sarungan tersebut, di Myanmar juga menjadi tradisi dan budaya. Bahkan acara resmi kenegaraan pun, busana yang paling hebat dan bagus untuk dikenakan adalah memakai sarung. Di Myanmar, budaya sarungan dinamakan dengan longyi. Tetapi ada sedikit perbedaan dalam melipat sarungnya antara budaya Indonesia dan Myanmar.
Jadi, yang saya amati di sini, budaya sarungan di Myanmar tidak khusus buat muslim saja. Mereka mayoritas beragama budha atau non muslim lainnya juga memakai tradisi sarungan. Sambil membawa payung dan ditambah menenteng Rantang, berisi makanan untuk makan siang. Sedangkan di Indonesia, budaya sarungan lebih identik dengan santri, terutama dari kalangan pondok pesantren.
Seusai joging, alhasil saya simpulkan, jangan mengira bahwa seorang muslim Indonesia tidak memakai sarung lantas beranggapan bahwa mereka bukanlah seorang religius. Mungkin kita tidak tahu, bahwa mereka sebenarnya adalah seorang pakar ilmu agama. Sebaliknya, jangan mengira masyarakat Myanmar memakai sarung adalah seorang santri. Padahal agama mereka saja bukan muslim. Hal tersebut di Myanmar hanya sebuah tradisi dan budaya saja. Jadi, cocok dengan istilah tidak menilai buku dari sampulnya saja. Begitupun dengan menilai orang, tidak hanya dari penampilan. (Dompet Dhuafa/Budy Budiman, Dai Ambassador penempatan Myanmar)