TANGERANG — Ada cerita kecil saat tim jurnalis Dompet Dhuafa berkunjung ke Institut Kemandirian (IK) kemarin. Siang itu kami berkesempatan untuk berjalan-jalan dan menyapa peserta kelas-kelas keterampilan. Institut Kemandirian saat ini sedang melangsungkan 3 kelas, yaitu kelas komputer, otomotif, dan salon muslimah.
Cerita dimulai saat kami berkunjung ke kelas salon muslimah. Kelas yang diisi oleh para perempuan itu terlihat lebih tertutup dari kelas yang lainnya. Maka perlu pengkondisian terlebih dahulu sebelum tim memasuki kelas untuk meliput. Setelah dipastikan semua yang ada dikelas itu siap, kami mulai peliputan dan bertanya-tanya kepada mentor kelas dan beberapa peserta.
Kelas tersebut berisi sekitar 10 peserta dengan 1 mentor. Mentor kelas tersebut adalah seorang wanita cantik sekitar umur 30-an. Ia menceritakan tentang kurikulum pembelajaran kelas, hingga praktek apa saja yang diajarkan. Tiba saatnya bertanya kepada para peserta.
“Ini yang paling jauh berasal darimana nih mbak-mbak nya?” ujarku membuka pertanyaan. Para peserta pun menunjuk seorang gadis bercadar merah seraya berkata “Dia mbak dari Aceh.”
“Oh Acehnya di mana?” lanjut pertanyaan saya kepada gadis bercadar merah tersebut. Lalu dia terlihat menyenggol teman sebelah kanannya sambil berbisik. Namun tampak temannya tak mengerti. Sehingga dia meminta ke temannya yang sebelah kiri untuk melakukan sesuatu. Lalu teman sebelah kirinya berkata dengan agak keras “Acehnya dimana? Acehnya dimana?”. Aku sedikit bingung melihat adegan itu. Setelah mendengar itu, Ia membisikkan sesuatu kepada temannya itu. Tak lama temannya menjawab pertanyaanku, “Dia dari Aceh Tenggara Kak.” Mendengar itu, aku mengangguk-angguk saja dan mencoba mengalihkan pembicaraan.
Setelah keluar dari ruangan tersebut, salah satu pengurus IK bercerita bahwa gadis tadi terganggu pendengarannya, yang membuat dia agak kesulitan berkomunikasi. Di IK ini ada dua peserta difabel, gadis tadi dan satu lagi dari kelas otomotif.
Namun melihat kemauan dan kegigihan mereka dalam menuntut ilmu, membuat sangat terharu. Betapa mereka rela meninggalkan keluarganya, demi mendapatkan ilmu dan keterampilan. Betapa mereka tidak melihat kekurangan mereka sebagai batas untuk berkreasi. Dan betapa mereka memilih menjadi manusia yang berguna bagi dirinya sendiri, keluarga, dan masyarakatnya. Daripada berpangku tangan dan meratapi kekurangan. Hari itu aku pulang dengan menyungging senyum, sekali lagi aku mendapatkan pelajaran berharga dari orang-orang yang tak terduga. (Dompet Dhuafa/Dea)