JAKARTA — Sejumlah organisasi masyarakat sipil/civil society organization (CSO) terkemuka di Indonesia berkumpul di Gedung Philanthropy Dompet Dhuafa, Jakarta Selatan, pada Kamis (05/12/2024). Forum kolaborasi ini dihadiri oleh perwakilan dari berbagai lembaga dengan tujuan utama menyatukan persepsi atas situasi dan kebutuhan pengungsi di Indonesia serta bagaimana menyatukan langkah dalam memberikan perlindungan dan bantuan kemanusiaan bagi mereka.
Daftar lembaga yang hadir dalam forum diskusi ini adalah Dompet Dhuafa, KontraS, YLBHI, HRWG, AJAR, Amnesti Indonesia, RDI Uref, SAFEnet, Human Inisiatif, Save The Children, LBH APIK Jakarta, YKMI, LBH Masyarakat, PBHI, Ibu Dessy – PRW, LBH Jakarta, Mer-C, Lazismu, SUAKA, JRS, Yayasan Geutanyoe, CWS, dan KontraS Aceh.
Bertajuk “Workshop Strategi Bersama Organisasi Masyarakat Sipil Terkait Penanganan Pengungsi Luar Negeri dalam Pemerintahan Baru”, diskusi yang berlangsung intensif ini fokus pada tantangan yang dihadapi oleh pengungsi, terutama terkait akses terhadap layanan kesehatan, pendidikan, pekerjaan, dan yang paling penting adalah perlindungan hukum. Para peserta berbagi pengalaman dan pengetahuan mengenai kondisi terkini para pengungsi serta upaya-upaya yang telah dilakukan oleh masing-masing lembaga.
Baca juga: Dompet Dhuafa Siapkan 200 Tenda untuk Pengungsi di Gaza
Berdasarkan data terbaru dari UNHCR (Mei 2024), tercatat ada 12.772 pengungsi yang tersebar di seluruh Indonesia, termasuk Jakarta, Bogor, Medan, Pekanbaru, Aceh, Kupang, Batam, Surabaya, Semarang, Denpasar, dan Makassar. Mayoritas pengungsi berasal dari Afghanistan, Rohingya, dan 51 negara lainnya. Jumlah ini juga mencakup kedatangan baru pengungsi Rohingya di Aceh pada November 2023 hingga Januari 2024.
Indonesia menjadi negara transit bagi pengungsi luar negeri, dan solusi yang menjadi harapan pengungsi adalah penempatan di negara ketiga atau resettlement. Namun, dengan munculnya berbagai konflik di Asia, Eropa, dan Afrika, solusi resettlement makin terbatas dan tidak berlaku untuk semua pengungsi. Masa tunggu yang mencapai 5 hingga 10 tahun di Indonesia, ditambah ketidakmampuan untuk bekerja, membuat pengungsi bergantung pada bantuan dari berbagai pihak seperti IOM, UNHCR, dan lembaga pemberi layanan lainnya.
Memasuki paruh kedua tahun 2024, kondisi pengungsi mandiri, terutama yang tinggal di Jakarta dan Bogor, makin memburuk. Dari 5.810 pengungsi yang berada di Banten, DKI Jakarta, dan Jawa Barat, sekitar 1.200 orang masih menerima bantuan dari UNHCR. Namun, karena keterbatasan dana, UNHCR terpaksa mengurangi bantuan rutin bagi sebagian pengungsi. Hal ini memperburuk situasi pengungsi, yang sebagian terpaksa tinggal di rumah teman atau fasilitas umum. Gedung eks-Kodim Kalideres menjadi satu-satunya bangunan pemerintah di Jakarta yang dapat digunakan oleh pengungsi.
Sekitar 100 pengungsi, termasuk orang dewasa, laki-laki, perempuan, dan anak-anak, tinggal di Kalideres, mengandalkan bantuan dari warga lokal, UNHCR, dan organisasi lokal untuk kebutuhan dasar seperti listrik, air, dan makanan. Sementara itu, pengungsi Rohingya di Aceh yang jumlahnya sekitar 800 orang masih tinggal di penampungan sementara dengan segala keterbatasannya. Mengingat situasi pengungsi yang semakin terdesak, kerja sama antara berbagai organisasi sangat diperlukan, baik dalam bentuk advokasi, bantuan hukum, maupun penyediaan layanan dasar.
Secara hukum, Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Presiden No 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri, namun pemenuhan hak-hak dasar pengungsi masih belum diatur secara rinci dalam peraturan tersebut.
Upaya terobosan untuk pemenuhan hak dasar pendidikan telah dilakukan dengan diterbitkannya SE No. 30546/A.A5/HK.01.00/2022, yang ditujukan kepada 50 Kepala Daerah dan Dinas Pendidikan di daerah yang terdapat pengungsi anak. Dalam hal penyediaan dokumentasi legal, telah diterbitkan SE No. 400.8.1.7/13292/Dukcapil tentang Pelayanan Pencatatan Peristiwa Penting bagi Pengungsi dari Luar Negeri dan Pencatatan Sipil. Terbaru, SE No. 2/1730/LP.03.02/IX/2023 tentang Pelatihan Kerja bagi Pengungsi dikeluarkan oleh Kemenaker. Sementara itu, untuk penanganan langsung, berdasarkan Perpres No. 125/2016, dibentuklah Satgas PPLN di Kemenko Polhukam, dengan Satgas PPLN Daerah di bawah Kesbangpol Daerah. Namun, implementasi Perpres tersebut masih memerlukan perbaikan karena dinilai masih memiliki banyak kekurangan.
Pada kesempatannya, Aliansi dan Advokasi Dompet Dhuafa, Rama Adi Wibowo mengatakan dalam forum ini, bahwa Dompet Dhuafa di Bogor telah mencetuskan Program Learning and Empowering Center, yaitu program lintas isu, pendidikan, layanan kesehatan, pelatihan vokasi, dakwah dan lainnya. Selain melibatkan para pengungsi sebagai penerima manfaat, program ini juga melibatkan masyarakat lokal guna mambangun integrasi sosial antara masyrakat lokal dengan refugee yang telah tinggal lama di Indonesia. Kemudian di Aceh, Dompet Dhuafa bersama mitra-mitra kolaborasi terus membersamai pengungsi rohingya yang tengah kesulitan mencari suaka.
“Kami pun tidak hanya melakukan layanan, namun juga pada pendampingan advokasi. Belum lama, Dompet Dhuafa telah melakukan submission untuk UN Universal Periodic Review berbicara mengenai isu-isu pengungsi. Selain itu juga melakukan submission di Global Refugee Forum. Kemudian yang akan dilakukan ke depan, Dompet Dhuafa berharap bisa melakukan suatu hal agar pemerintah bisa going extra miles pada diplomasi internasional terkait sikap terhadap penjahat internasional. Termasuk juga menaungi korban-korban kejahatan kemanusiaan, khususnya yang terjadi di Palestina,” paparnya.
Mendapat kesempatan berpendapat, Gading dari JRS (Jesuit Refugee Service) mengatakan, bahwa pemerintah Indonesia hingga saat ini belum memiliki policy yang tegas bagi pengungsi dari luar negeri. Yang Indonesia punya baru regulasi. Ini bagi JRS adalah hal yang membuat Indonesia tidak pernah punya sikap tegas dalam setiap ada kasus pengungsi yang datang.
“Maka, penting ini ditegaskan. Apa posisi kita terhadap para pengungsi? Apakah kita menerima atau menolak? Nah, jadi ke depan, bagi saya, sebagai refleksi kita bersama, gimana kelompok humaniter dan kelompok HAM ini bisa kawin? Karena hampir apa yang kita diskusikan ini, lembaga HAM sudah biasa melakukan itu. Namun pertanyaannya adalah, apakah ada proses konsultatif dan partisipatoris untuk men-channel-kan informasi di lapangan dengan jaringan-jaringan lembaga masyarakat ke dalam rumah bersama,” paparnya.
Diskusi dalam forum ini kemudian menghasilkan kesepakatan yang sangat menggembirakan. Para peserta sepakat untuk memperkuat sinergi dan kolaborasi dalam penanganan isu pengungsi. Komitmen ini dituangkan dalam sebuah deklarasi yang mencakup rencana aksi konkret untuk jangka pendek dan panjang.
Diskusi pun mengerucut pada kesimpulan bahwa perlunya sebuah platform sebagai rumah bersama agar dapat secara strategis menentukan langkah-langkah dan menghubungkan antara kelompok humanitarian dan kelompok advokasi. Selanjutnya, forum ini akan mengagendakan pertemuan secara rutin dan reguler, sehingga hal-hal parsial yang belum terbahas dapat dibahas kembali secara mendalam.
Beberapa poin penting dalam hasil forum ini antara lain:
1. Penguatan Advokasi: Meningkatkan upaya advokasi kepada pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya untuk memperbaiki kebijakan perlindungan pengungsi.
2. Peningkatan Akses Layanan: Memastikan pengungsi memiliki akses yang lebih baik terhadap layanan dasar seperti kesehatan, pendidikan, dan pekerjaan.
3. Pembinaan Kapasitas: Melakukan pelatihan kepada pekerja sosial dan relawan untuk meningkatkan kapasitas mereka dalam memberikan layanan kepada pengungsi.
4. Kampanye Isu Pengungsi: Menggaungkan pandangan mengenai pengungsi hingga menggalang dana dari berbagai sumber untuk mendukung program-program kemanusiaan bagi pengungsi.
5. Jaringan Informasi dan Komunikasi: Membangun jaringan informasi yang kuat berupa sebuah forum khusus, untuk mempermudah koordinasi dan pertukaran data antar lembaga.
Baca juga: Upaya Advokasi Melalui Kajian Kebijakan Publik oleh IDEAS Dompet Dhuafa
Meskipun diskusi ini menghasilkan kemajuan, masih ada banyak hal yang perlu dibahas lebih lanjut. Setiap lembaga menyatakan kesiapan untuk mengadakan pertemuan lanjutan guna memperdalam pembahasan, termasuk mengenai kemungkinan revisi terhadap landasan hukum, termasuk pada Peraturan Presiden No. 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri.
Peserta dari SUAKA, Atika menyampaikan kesannya dalam mengikuti forum diskusi ini. Baginya, Forum ini telah memberikan ruang bagi para lembaga CSO untuk saling belajar dan berbagi pengalaman.
“Forum ini memberikan ruang bagi kami untuk saling belajar dan berbagi pengalaman. Kami yakin bahwa dengan bekerja sama, kita dapat memberikan kontribusi yang lebih besar untuk kesejahteraan pengungsi di Indonesia”.
Melalui forum ini, CSO-CSO di Indonesia diharapkan semakin solid dalam memperjuangkan hak-hak pengungsi dan berkomitmen membangun masa depan yang lebih baik bagi mereka. (Dompet Dhuafa)
Teks dan foto: Riza Muthohar
Penyunting: