YOGYAKARTA — Dompet Dhuafa bekerja sama dengan Trubus Bina Swadaya kembali menyelenggarakan serial Fokus Group Discussion (FGD) Budaya dan Pemberdayaan di Grand Hotel Yogyakarta pada Rabu (24/7/2024). FGD kali ini mengusung tema “Keswadayaan Lokal dan Etos Kewirausahaan” yang dihadiri oleh GKR Mangkubumi selaku Penjaga Inti Kebudayaan Keraton Yogyakarta, Parni Hadi selaku Inisiator Gerakan Kebudayaan sekaligus Inisiator dan Ketua Dewan Pembina Yayasan Dompet Dhuafa Republika, Ahmad Juwaini selaku Ketua Pengurus Dompet Dhuafa, Otok S. Pamudji selaku Pengurus Bina Swadaya, Hasto Wardoyo selaku Kepala BKKBN, Muhammad Jazir selaku Dewan Syuro Jogokariyan, Mursida Rambe perwakilan BMT Beringharjo, serta para tokoh lainnya.
“Hari ini, Anda semua berkumpul di Kota Budaya, di Culture Hub of Indonesia, Pusat Budaya Indonesia, khususnya Jawa, untuk membahas bagaimana memberdayakan masyarakat berbasis cerlang (cemerlang) budaya lokal. Dan Yogya adalah tempat datangnya wangsit, ide, intuitive mindset bagi pendirian Dompet Dhuafa. Saya yakin, diskusi hari ini menghasilkan sesuatu yang bermanfaat untuk memberdayakan masyarakat, memberdayakan kaum dhuafa, untuk membangun Indonesia yang adil dan makmur,” tutur Parni Hadi dalam sambutannya, Rabu (24/7/2024).
GKR Mangkubumi yang hadir mewakili Sri Sultan Hamengkubuwono X dari Keraton Yogyakarta menjelaskan bahwa sektor wirausaha salah satu pilar perekonomian nasional. Kekuatan dan daya tahan para wirausahawan lokal tidak terbantahkan lagi. Di tengah terjangan krisis seperti Pandemi, UMKM lokal dan para wirausahawan terbukti mampu berperan sebagai jalan keluar. Namun, di balik peran strategisnya, sektor kewirausahaan masih dihantui faktor penghambat baik dari internal maupun eksternal.
“Dari internal, tantangan yang dihadapi antara lain masih terbatasnya kemampuan SDM, terbatasnya pemasaran yang lebih fokus pada fungsi produksi namun lupa pada fungsi pemasaran, serta keterbatasan modal. Sementara dari eksternal berkaitan dengan unsur pembinaan dan pengembangan kewirausahaan yang terkadang masih gagap dalam meng-interpretasikan dan mengimplementasikan program dan kebijakan,” ungkapnya.
Baca juga: Para Tokoh Bangsa Formulasikan Budaya Sebagai Sarana Pemberdayaan Masyarakat
Dr. Bayu Krisnamurthi, Direktur Bulog yang juga Ketua Pengurus Bina Trubus Swadaya, sebagai keynote speaker berikutnya menyatakan banyak studi yang menunjukkan agar kita memperhatikan budaya setempat, kebiasaan masyarakat, tata nilai yang diakui, dan konstruksi sosial yang ada di masyarakat agar program-program pemberdayaan efektif.
“Saya ingin memberikan catatan khusus untuk hari ini. Yaitu adanya dugaan, ancaman atas pemberdayaan, dan beberapa fenomena. Misalnya (1) relasi kuasa, ini kian hari kian menjemukan, masyarakat kita semakin menganggap bahwa segala keberhasilan berhubungan dengan kekuasaan, (2) budaya instan, segala sesuatu harus segera, dan (3) fenomena post truth,” tutur Dr. Bayu Krisnamurthi.
Sementara itu, Ahmad Juwaini selaku keynote speaker menyatakan bahwa Dompet Dhuafa membangun inisiatif Gerakan Kebudayaan. Ini bertujuan untuk merevitalisasi budaya Indonesia dan memastikan ketahanannya terhadap pengaruh global dengan mendukung praktik hidup yang etis, komunal, dan berkelanjutan. Ia menegaskan bahwa Dompet Dhuafa telah memiliki program-program yang mendorong keswadayaan lokal dan etos kewirausahaan. Misalnya, program sentra ternak DD Farm di Pundong-Bantul, Batik di Imogiri, dan Aloe Vera di Gunung Kidul.
Selain itu, Ahmad Juwaini juga menyampaikan beberapa poin rencana aksi bersama, antara lain (1) menuliskan konsep-konsep dan praktik-praktik baik dalam rangka menangkap banyaknya inisiatif lokal yang pada akhirnya melakukan perubahan sosial, (2) melakukan program-program pemberdayaan dengan mengidentifikasi dan menguatkan nilai-nilai dan etika budaya lokal yang meningkatkan keswadayaan lokal dan etos kewirausahaan, (3) program-program pemberdayaan ini harus digerakkan oleh kaum muda yang memahami nilai budaya masyarakatnya dan memiliki ilmu pemberdayaan berbasis komunitas, karang taruna, lembaga keagamaan, dan kelompok masyarakat sipil lainnya dengan bantuan dunia usaha, dan (4) mempertemukan berbagai pemangku kepentingan dalam bidang kebudayaan dan pemberdayaan ekonomi.
Di sesi pertama, dr. Hasto Wardoyo, Kepala BKKBN yang pernah dua kali menjabat sebagai Bupati Kulonprogo, juga menyatakan bahwa bonus demografi seharusnya diimbangi dengan penguatan keswadayaan lokal dan kewirausahaan untuk mengurangi angka kebergantungan (dependensi). Di beberapa daerah, angka depedensi telah melebihi 50 persen. Artinya, setengah lebih populasi bergantung secara ekonomi pada orang-orang di sekitarnya, seperti anggota keluarga, teman, dan komunitas. Ini diamini oleh narasumber kedua, yaitu Komara Djaja, Ph.D. Ia menilai, wirausaha adalah pelajaran yang tidak ditemukan di sekolah, namun perlu terjun langsung ke lapangan untuk menggelutinya atau learning by doing.
Dalam sesi kedua, Muhammadi Jazir dari Masjid Jogokariyan menyampaikan bahwa tahun 1963 Presiden Ir. Soekarno mencanangkan Trisakti: Daulat Politik, Daulat Ekonomi dan Daulat Kebudayaan. Di mana daulat kebudayaan merupakan lokomotif yang akan menarik gerbong daulat ekonomi dan politik. Oleh karenanya, Jazir mendorong keswadayaan ekonomi lokal dan kewirausahaan mulai dari masjid di lingkungan rumahnya.
Berbagai inisiatif kewirausahaan dilakukan dengan tujuan akhir surplus keuntungannya dipergunakan untuk menolong para jamaah masjid. Hal serupa dilakukan oleh narasumber kedua, yaitu Mursida Rambe dari KSPPS BMT Beringharjo, yang berupaya membebaskan para pedagang pasar tradisional dari jeratan pinjaman rentenir. Menurutnya, budaya Jawa yang etis dan komunal membantu BMT-nya untuk membangun keswadayaan lokal dan melakukan pemberdayaan ekonomi.
FGD ini juga ditanggapi oleh sejumlah pihak dari berbagai elemen kewirausahaan dan budaya, seperti Sugeng Handoko (Penggerak Desa Wisata Ngelanggeran), Wahyudi Anggoro Hadi (Kepala Desa Panggungharjo), Santi Zaidan (Penyiar Radio dan Pengusaha), Romo Dr. Kusmaryanto (UGM dan Sanata Dharma), Mahditia Paramita (Masterplan Desa), Bambang Purwanto (Sejarawan UGM), Andhika Mahardika (Pengusaha/Pendiri Agradaya), Rahmawati Husein (Muhammadiyah Disaster Management Center), dan para pemangku kepentingan lainnya.
Diharapkan FGD ini dapat merangkum praktik-praktik baik keswadayaan lokal dapat menjadi model. Lalu diformulasikan dan diterapkan di berbagai tempat di Indonesia sehingga tercipta perbaikan taraf hidup masyarakat. (Dompet Dhuafa/Bina Trubus Swadaya)
Teks dan foto: IMZ, Ayu Nadia
Penyunting: IMZ, Dhika