JAKARTA — Peraturan Pemerintah atau PP Kesehatan No 28 Tahun 2024 menuai sorotan publik. Pasal 103 ayat 4, khususnya pada butir E yang mengatur tentang pemberian alat kontrasepsi bagi siswa dan remaja memicu perdebatan sengit. Para ahli menilai, ketentuan dalam pasal tersebut masih terlalu umum dan tidak memberikan kejelasan mengenai mekanisme pelaksanaan di lapangan. Ketidakjelasan ini berpotensi menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda dan memicu kekhawatiran di masyarakat.
Diskusi mengenai polemik ini turut menjadi bahan perbincangan bagi Dompet Dhuafa. Sebagai lembaga filantropi, Dompet Dhuafa menganggap peraturan ini justru berpotensi akan merusak generasi bangsa dan agama. Dompet Dhuafa beserta para pemangku kepentingan pun kemudian mendesak pemerintah untuk melakukan kajian ulang terhadap kebijakan tersebut.
Maka pada Jumat (30/08/2024), di Gedung Philanthropy, Jakarta Selatan, Dompet Dhuafa menggelar sebuah acara diskusi publik terkait isu ini dengan mengundang beberapa narasumber, yaitu dr. Wira Hartiti selaku Ketua Tim Kerja Kesehatan Reproduksi Kemenkes RI, Miftahul Huda, LC., selaku Sekretaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), Djarot Dimas Achmad Andaru selaku Akademisi Falkutas Hukum Universitas Indonesia.
Diskusi ini diikuti oleh para Insan Dompet Dhuafa. Kemudian juga turut dihadiri oleh tiga penanggap, yaitu Dr. H. Ahmad Fihri, MA selaku pengurus Muhammadiyah, drg. Martina Tirta Sari selaku Kepala Layanan Kesehatan Cuma-Cuma (LKC) Dompet Dhuafa serta Agung Pardini selaku Direktur Advokasi IDEAS.
Baca juga: Berbuka Bareng Jurnalis, Diskusi Ringan Menyoal Kelaparan Hingga Berbagi Takjil di Jalanan
“Penggunaan diksi serta ketiadaan penjelasan yang rinci mengenai tempat dan cara pemberian alat kontrasepsi membuat kebijakan ini rentan disalahartikan,” ujar Djarot Dimas Achmad Andaru dalam pemaparannya.
Sementara itu, Miftahul Huda menilai kebijakan ini perlu mempertimbangkan aspek sosial, budaya, dan agama secara lebih mendalam. Selain itu, mekanisme pelaksanaan juga harus dijelaskan secara rinci agar tidak menimbulkan kesalahpahaman.
“Pemerintah perlu melibatkan berbagai pihak, termasuk organisasi keagamaan, dalam merumuskan kebijakan ini. Tujuannya agar kebijakan tersebut dapat diterima oleh seluruh lapisan masyarakat,” ujarnya.
Meski begitu, dr. Wira menganggap kebijakan ini penting untuk mencegah kehamilan yang tidak diinginkan pada remaja, serta mengurangi angka stunting. Namun di sisi lain, banyak pihak yang khawatir dengan potensi dampak negatif dari kebijakan ini.
“Upaya kesehatan reproduksi ini dilakukan dengan memperhatikan nilai, kultural, budaya dan agama. Dan kami pun menekankan bahwa upaya ini tidak akan terlepas dari norma, budaya dan agama,” terangnya.
Ia kemudian melanjutkan, nantinya dalam penyediaan alat kontrasepsi, pihaknya sepakat hanya untuk remaja yang sudah menikah.,Tujuannya yaitu untuk menunda kehamilan pada usia remaja sampai pada usia yang aman untuk hamil. Hal ini nanti akan dijelaskan lebih lanjut di RTMK, bahwa tidak akan dilakukan bagi semua remaja. Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kesehatan pun menegaskan, bahwa bagi remaja, pendekatan yang dilakukan pemerintah adalah dengan melakukan pendekatan promotif dan preventif.
“Kemudian juga ditegaskan bahwa untuk pelaksanaan layanan ini tidak akan dilakukan di sekolah, namun oleh tenaga kesehatan yang berwenang,” tegasnya.
Menanggapi penjelasan itu, Miftahul Huda angkat suara atas tiga hal. Pertama bahwa supaya tidak terjadi kerancuan serta polemik lebih besar di kemudian hari, frasa “sunat” dalam PP di atas diganti dengan “pemotongan dan perlukaan genitalia perempuan (P2GP)”. Karena, menurutnya, penggunaan kata sunat adalah istilah agama. Maka ini akan bertentangan dengan norma agama Islam yang memperbolehkan sunat pada perempuan.
Kemudian yang kedua pada pasal 103 ayat 4 e, perlu adanya penambahan frasa “untuk remaja yang sudah menikah”. Ketiga, pada pasal 104 ayat 2 b, perlu ditambah kata “benar”, sehingga menjadi “perilaku seksual yang benar, sehat, aman, dan bertanggung jawab”. Kata “benar” di situ mengandung benar menurut syariat Islam dan kesehatan.
Menambahkan Miftah, Djarot juga turut memberikan komentar. Menurutnya, ada frasa-frasa yang perlu ditambahkan untuk memperjelas. Misalkan dalam penggunaan kata pasangan. Karena jika merujuk pada peraturan pemerintah ini, ternyata ada 4 kategori yang dikatakan sebagai pasangan, yaitu pasangan usia subur, pasangan usia subur dengan resiko, pasangan suami istri, dan pasangan menikah dengan sah.
“Jika hanya ditulis pasangan saja, mohon maaf, bisa juga pasangan ‘kumpul kebo’, atau pasangan LGBT,” ucapnya.
Baca juga: Dompet Dhuafa Gelar Diskusi Publik Terkait RUU Pertanahan Dalam Perspektif Penguatan Wakaf
Adanya interpretasi yang beragam ini menjadi hal yang wajar dalam hukum. Hal ini disebabkan oleh frasa atau diksi yang mungkin kurang tepat. Meskipun begitu, hal ini dapat dicegah dengan pembahasan yang mendalam dengan melibatkan banyak kalangan. Sehingga, semua akan sepakat dan tidak ada kerancuan di kemudian hari.
“Meski pihak pemerintah sudah menjelaskan bahwa pengertian kalimat ini adalah menuju pada ini dan itu, namun kita jangan lengah. Karena hukum di Indonesia ini berprinsip lex certa dan lex scripta. yaitu rumusan hukum pidana harus jelas atau tidak bersifat ambigu dan juga tertulis,” jelasnya.
Kalimat lain yang juga perlu diperhatikan bahwa usia sekolah yang tertera dalam peraturan juga bisa mencakup sejak SD, atau sejak 7 tahun. Maka untuk mengatasi berbagai kontroversi itu, pemerintah perlu memberikan penjelasan yang lebih rinci mengenai mekanisme pelaksanaan kebijakan. Selain itu, pemerintah juga perlu melibatkan berbagai pihak dalam merumuskan kebijakan yang lebih komprehensif dan sesuai dengan nilai-nilai budaya masyarakat Indonesia.
Agung sebagai praktisi pendidikan di sekolah pun turut menanggapi polemik ini. Menurutnya, kalimat Penyediaan alat kontrasepsi harusnya tidak masuk dalam pelayanan kesehatan. namun cukup masuk pada bagian keluarga berencana.
Budaya perzinaan di remaja yang sudah begitu menganga mengharuskan adanya integrasi antara pendidikan di siang hari yang berada di lingkungan sekolah dan malam hari di keluarga dan lingkungan. Problem utama pada kalangan remaja adalah tertinggalnya literasi.
“PP ini tidak ada keberpihakan pada moral. PR besar bagi pendidikan ini adalah bagaimana meningkatkan, mengeratkan fungsi orangtua dan masyarakat untuk bisa mengontrol anak-anak agar tidak terjerumus ke hal-hal yang buruk,” terang Agung
Sementara pada sisi kesehatan, Martina khawatir munculnya PP Kesehatan No 28 Tahun 2024 ini hanya karena latah terhadap naiknya isu stunting. Padahal, menurutnya, tidak ada kaitan yang erat antara penyelesaian stunting dengan penyediaan alat kontrasepsi. Permasalahan stunting adalah dengan edukasi tentang gizi, bukan dengan menyediakan alat kontrasepsi.
“Perlu dikaji lebih mendalam mengenai tujuan utama dari program ini. Apakah hanya latah karena semua orang membicarakan tentang stunting, atau bahkan lebih buruk lagi ke depannya akan berdampak pada kebebasan pergaulan remaja,” ucapnya.
Dari hasil diskusi ini, Dompet Dhuafa dan segenap pihak yang terlibat berharap Kementerian Kesehatan Republik Indonesia dapat segera mengambil tindakan lanjutan atas polemik ini. Diskusi ini menjadi langkah awal untuk mendorong pemerintah menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) atau Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) yang lebih komprehensif dan sesuai dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat. (Dompet Dhuafa)
Teks dan foto: Riza Muthohar
Penyunting: Dhika Prabowo