Dompet Dhuafa Gelar Diskusi Publik Terkait RUU Pertanahan Dalam Perspektif Penguatan Wakaf

JAKARTA — Dompet Dhuafa menggelar diskusi publik membahas Rancangan Undang Undang Pertanahan melalui perspektif penguatan aset wakaf, di Bakso Boedjangan, Pejaten, Jakarta Selatan, Rabu (11/9/2019). Banyaknya polemik aset wakaf terutama berupa tanah, mejadi landasan perlunya dibentuk Undang-Undang Pertanahan. Namun hingga kini pro dan kontra masih terjadi, menimbulkan perhatian dari berbagai kalangan masyarakat, terutama nadzir sebagai penerima, pengelola, serta penyalur manfaat wakaf.

Rancangan Undang-undang Pertanahan (RUU) yang pada inisiatif awalnya diajukan guna memperkuat substansi pengaturan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria, dianggap terlalu tergesa-gesa dan terburu-buru. Selain itu juga belum merangkum seluruh lapisan aspirasi masyarakat dalam menjawab akar masalah tata kelola pertanahan di Indonesia. Bahkan dalam beberapa hal, dinilai mengalami kemunduran karena tidak dapat memberi kepastian hukum atas perlindungan aset dan properti keagamaan, seperti halnya wakaf, jika dibandingkan dengan regulasi yang pernah ada sebelumnya. Demikian menurut pemaparan Bobby Manulang, selaku Ketua Forum Wakaf Produktif pada diskusi tersebut.

Muhammad Nuh, DEA, selaku Ketua Badan Wakaf Indonesia menyebutkan potensi wakaf pada Februari 2019 dilihat dari jumlah wakaf tidak bergerak berupa tanah yang terdata, ada sekitar 4,9 miliar meter persegi, yang tersebar di 355.111 titik lokasi. Sementara potensi wakaf uang, mencapai Rp 180 triliun. Namun menurutnya tanah-tanah wakaf tersebut belum dikelola secara maksimal.

“Tanah-tanah tersebut belum dikelola secara maksimal. Persoalannya adalah kemampuan lazis dalam mengelolanya. Tercatat ada 66 persen tanah-tanah tersebut dikuasai oleh perorangan. Itu pun hanya sebatas menjaga, bukan mengelola,” terangnya.

Dalam draft RUU Pertanahan tersebut, telah di atur bahwa ‘Perwakafan tanah dan lembaga sejenis menurut ajaran agama yang di anut masyarakat Indonesia dilindungi keberadaannya’. Namun, pasal yang diatur masih sangat umum dan normatif. Dompet Dhuafa sebagai nadzir wakaf memiliki peran penting dalam mengembangkan potensi wakaf guna menunjang kesejahteraan masyarakat. Namun juga harus dilindungi dalam aspek hukum dan regulasi kebijakan. Sehingga dapat memberikan kepastian hukum.

Menurut Prof. Dr. H.M. Amin Suma, S.H, M.H, Guru Besar Hukum Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, perundang-undangan pertanahan jika ditinjau dari segi fiqih sangatlah memungkinkan. Bahkan bisa dibilang sangat diperlukan jika memang aset wakaf selalu saja dikalahkan.

“Fiqih bisa fleksibel dan meyesuaikan undnag-undang terkait wakaf, yaitu dilihat dari kemaslahatan bersama. Selain itu wakaf merupakan aset yang bersifat berkepanjangan. Tidak berkurang nilainya dan dapat dimanfaatkan selama mungkin,” terang Amin Suma.

Melalui diskusi tersebut, Dompet Dhuafa berharap wakaf bukan saja menjadi bagian dari ritual ibadah yang dimaknai sempit. Namun menjadi sebuah lifestyle dan kebiasaan baru di tengah masyarakat. Dimana wakaf bukan saja berdimensi pada ibadah, namun juga berdimensi ekonomi strategis dalam rangka pemerataan pendapatan dan sumber daya. Sekaligus menjadi sarana pemberdayaan dan peningkatan profuktivitas ekonomi masyarakat di Indonesia, terkhusus lagi para dhuafa. (Dompet Dhuafa/Muthohar)