Dulu Kawan, kini Lawan (Catatan Perjalanan Marawi Bagian 2)

MARAWI, FILIPINA — Selepas ibadah Jumat (9/6), di masjid At-Taqwa Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Manila, saya didekati oleh salah seorang staf KBRI yang telah 20 tahun lebih tinggal di Filipina. Dadang namanya, pria paruh baya dengan rambut klimis dan pakaian necis bak priyayi kontemporer itu, memperkenalkan saya dengan seorang pengacara muda muslim Filipina, yang diketahui bernama Ahmad.

Pribadi yang terbuka, memudahkan saya untuk menggali kisah-kisah di balik rupa ramahnya. Dalam pertemuan singkat itu, ia bercerita soal bagaimana sesama warga Marawi memiliki ikatan yang kuat. Sehingga, jika seorang anak Maranao bersua dengan seorang asing Maranao lainnya, akan ditemukan kisah bahwa kakek mereka pernah sepermainan di sekolah dulu. Namun di saat bersamaan, Ahmad bercerita soal kerenggangan yang menerpa dirinya dan dua sahabat kentalnya sedari kecil.

“Teman-teman saya ini yang membantu mengajari saya agama, di kala saya mendapatkan pengajaran katholik dari sekolah. Mereka hafidz sedari muda,” jelasnya dengan wajah mendongak, mencoba menggali memori lama itu.

Nasib menuntun mereka ke jalan yang berbeda. Ahmad selepas mengenyam pendidikan menengah atas memutuskan mengambil studi hukum. Itu semua demi menjadi pembela hukum bagi rakyatnya. Sementara dua sahabatnya memilih memperdalam ilmu agama di sebuah negara teluk. Untuk kemudian membaiatkan diri kepada gerakan ISIS di Suriah, dan mengembangkan kelompok Maute di Mindanao, Filipina Selatan.

Upaya mengajak Ahmad untuk turut bergabung dengan kelompok Maute menemukan tembok penolakan. Bagi Ahmad, jalan perjuangan Maute, tidak sesuai jalur pergerakan litigasi yang sedang dirintisnya bersama banyak pengacara muda lainnya. Lebih jauh, tidak pula sesuai dengan nilai-nilai Islam yang dalam pandangan Ahmad menjunjung tinggi prinsip kemanusiaan. “Bagaimana kamu bisa berjuang membawa nama Islam ketika kamu membunuhi saudara sesama Islam sendiri?” imbuh Ahmad.

Kini, takdir mereka terpisah jauh. Tadinya kawan kental, kini berubah total menjadi lawan. Sebuah pesan ancaman pun sempat menyambanginya, “Jika kami bertemu denganmu, kami akan memenggalmu!” Belati konflik itu kini sedang pelan-pelan menusuk ke jantung masyarakat. Memecah suku bangsa dengan kekayaan histori.

Ahmad saat berbincang dengan saya, bercerita antuasis bagaimana ia dengan komunitas pengacara muda muslim, sedang bekerja mempertaruhkan nyawa, mengevakuasi penduduk Marawi yang dijadikan tameng (human shield) oleh kelompok Maute. Helm dan rompi dengan hiasan bendera putih adalah “perisai” mereka di tengah desir peluru dan dentum rudal. Mirip inisiatif kemanusiaan organisasi White Helmet di Suriah. Ia tak lagi tertarik menceritakan kelanjutan nasib dua sahabatnya. Tetapi mata Ahmad berbinar ketika saya menyatakan, “Ayo, kita bersinergi!” (Dompet Dhuafa/Arif RH)