JAKARTA — Dalam rangka memperingati Hari Guru yang jatuh setiap tanggal 25 November, Dompet Dhuafa bersama Ikatan Alumni UNJ (IKA UNJ) menggelar Eduaction Fest 2023: Hari Cinta Guru. Acara yang digelar dengan tema “Guru, Robot, dan Ekosistem Belajar” ini dilaksanakan di Gedung Ki Hajar Dewantara UNJ, Jakarta pada Jumat (24/11/2023).
Eduaction Fest 2023 turut dihadiri Rina Fatimah selaku GM Divisi Pendidikan Dompet Dhuafa; Juri Ardiantoro selaku Deputi IV Kepala Staf Kepresidenan Bidang Informasi dan Komunikasi Politik; dan Komarudin selaku Rektor UNJ. Selain itu, Eduaction Fest 2023 juga disemarakkan oleh kegiatan Orasi Pendidikan, Penganugerahan Guru untuk Almarhumah Conny R. Semiawan, Peluncuran Master Teacher Indonesia, Peluncuran Buku Alumni UNJ Bahasa Jerman, dan Peluncuran Kartu Alumni UNJ.
Kegiatan ini menjadi upaya Dompet Dhuafa dan IKA UNJ memenuhi gambaran guru ideal di era digital, di mana guru dituntut menguasai perkembangan teknologi, salah satunya kecerdasan buatan atau artificial intellegence. Kecerdasan buatan dan robot disinyalir mampu memaksimalkan pengajaran agar lebih interaktif, membantu memantau perkembangan siswa, dan meningkatkan efisiensi dalam proses belajar-mengajar.
Baca juga: Injak Usia 14 Tahun, SGI Komitmen Kuatkan Kepemimpinan Guru Guna Wujudkan Merdeka Belajar
Menurut Rina Fatimah, seorang guru perlu memiliki pengetahuan yang mumpuni untuk mengintegrasikan teknologi.
“Guru, sebagai pemimpin dalam proses pembelajaran, perlu memiliki keterampilan dan pengetahuan memadai untuk mengintegrasikan teknologi ke dalam pengajaran,” ujar Rina.
DI tengah acara Eduaction Fest 2023, Lembaga Pengembangan Insani (LPI) Dompet Dhuafa menerima Sertifikasi ISO dari PT SAI Global. Hal ini merupakan wujud komitmen LPI dalam mempertahankan mutu dan kualitas dalam pengembangan pendidikan di Indonesia.
Baca juga: Guru Agustia, Alumni SLI Dompet Dhuafa Bangun Kampung Halaman Melalui ‘Sikola Bajalan’
Menurut Rektor UNJ, tantangan pendidikan di era AI dan robot membawa dampak pada dunia yang makin kompetitif, kompleks, sulit diprediksi, dan penuh risiko.
“Tantangan pendidikan di era AI dan robot, masifnya perkembangan AI, dan robotik yang menjangkau keseluruhan sistem sosial dan turut mengubah tatanan sosial pendidikan menjadi lebih cepat. Perlu benchmark yang tepat bagi Indonesia dalam menyusun arah kebijakan pada era AI dan robot,” ujar Komarudin.
Pada Hari Cinta Guru, diselenggarakan lokakarya pendidikan berjudul “Penguatan Kompetensi Guru di Era AI dan Robot: Arah Kebijakan Pemerintah”. Acara ini dihadiri oleh Robinson Situmorang, seorang Guru Besar dalam Ilmu Desain Pembelajaran; Devlin Hazrian Saleh selaku CEO SKOLLA; dan Agung Pardini, seorang Pemerhati Pendidikan. Acara tersebut dimoderatori oleh Dirgantara Wicaksono, seorang Doktor dalam Teknologi Pendidikan.
Baca juga: Pembekalan Fasilitator POP Sekolah Guru Indonesia di Yogyakarta
Lokakarya ini diselenggarakan guna mendorong guru untuk bergerak mengintegrasikan teknologi, termasuk robotika, kecerdasan buatan, dan teknologi lainnya dalam proses pembelajaran. Hal ini perlu dilakukan guna meningkatkan kualitas pengajaran dan pembelajaran.
Robinson Situmorang menekankan bahwa pembelajaran yang dilakukan secara nyata jauh lebih bermanfaat daripada pembelajaran yang terlalu mengandalkan teknologi. Ia menyarankan untuk tidak terlalu terobsesi dengan teknologi.
“Jangan pernah mengubah tujuan dari kurikulum, yang boleh diubah yakni strategi dalam menuju tujuan. Pembelajaran nyata itu lebih bagus daripada pembelajaran melalui teknologi. Jangan terlalu obsesi dengan teknologi, teknologi di pendidikan itu alat bukan target,” ujar Robinson Situmorang dalam kegiatan tersebut.
Devlin Hazrian menjelaskan bahwa kehadiran teknologi ini memberikan kesetaraan pendidikan, baik di kota maupun di wilayah terpencil. Ia menekankan bahwa pemanfaatan teknologi dapat meningkatkan daya eksplorasi.
“SKOLLA menghadirkan teknologi dibidang pendidikan, pembelajaran menggunakan animasi 3D, dan pengalaman 4D dengan augmented reality dan virtual reality. Dengan adanya teknologi terjadinya kesetaraan pendidikan baik di kota maupun di wilayah terpencil. Pemanfaatan teknologi dapat meningkatkan daya eksplorasi, salah satunya hal ini kami hadirkan di beberapa museum, sehingga siswa yang berkunjung dapat mempelajari lebih dalam benda-benda bersejarah melalui teknologi yang kami terapkan,” ujar Devlin.
Selain itu Agung Pardini mengatakan, “Pendidikan fungsional adalah cara kita merawat plasma mutfah kearfian tradisional dalam mengelola potensi keunggulan lokal kawasan dan upaya untuk menjaga kepemilikan aset produksi masyarakat. Hilang kearifan lokal adalah ancaman bagi munculnya kemiskinan yang lebih besar. Melalui program kawasan, Dompet Dhuafa mengembangkan pendekatan pendidikan fungsional yang digerakkan oleh kepemimpinan pada lingkar-lingkar kepemudaan dalam rangka menjaga kearifan lokal.”
Dirgantara Wicaksono mengatakan, pendidikan bukan hanya tanggung jawab guru, tetapi juga melibatkan orang tua, siswa, lembaga pendidikan, dan pemerintah.
“Di lokakarya pendidikan, IKA UNJ dan LPI DD menekankan pentingnya memperkuat ekosistem pendidikan berkelanjutan dan kolaborasi, agar kebijakan bisa berpihak pada guru untuk menciptakan lingkungan pembelajaran optimal,” tuturnya. (Dompet Dhuafa/Syafira)